Safar

Safar adalah keluar dari tempat tinggal untuk melakukan perjalanan yang jauh. Dalam Islam, ada adab-adab yang hendaknya diperhatikan oleh orang yang safar. Diantaranya

Pertama, Hendaknya Tidak Safar Sendirian

Seorang Muslim dimakruhkan bersafar sendirian, hendaknya bersafar bersama beberapa orang. Sehingga lebih aman dan bisa saling mengingatkan kebaikan dan melarang kemungkaran di perjalanan. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ، وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ، وَالثَّلَاثَةُ رَكْبٌ

orang yang berkendaraan sendirian adalah setan, orang yang berkendaraan berdua adalah dua setan, orang yang berkendaraan bertiga maka itulah orang yang berkendaraan yang benar.“ (HR. Malik dalam Al Muwatha, Abu Daud no.2607, dan At Tirmidzi no. 1674, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud)

Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لو يعلمُ الناسُ ما في الوَحْدَةِ ما أعلَمُ، ما سار راكبٌ بليلٍ وَحْدَه

Andaikan orang-orang mengetahui akibat dari bersafar sendirian sebagaimana yang aku ketahui, maka mereka tidak akan bersafar di malam hari sendirian. (HR. Bukhari no. 2998)

Kedua, Mencari Teman Safar yang Baik

Hendaknya seorang yang bersafar mencari teman safar yang saleh. Agar perjalanan safarnya penuh dengan hal-hal yang bermanfaat, jauh dari kesia-siaan dan maksiat. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة

Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda,

الرجل على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل

Keadaan agama seseorang dilihat dari keadaan agama teman dekatnya. Maka hendaklah kalian lihat siapa teman dekatnya.” (HR. Tirmidzi no.2378, ia berkata: ‘hasan gharib’, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Ketiga, Boleh Menjamak Salat, Namun Lebih Utama Tidak Dijamak

Boleh menjamak (menggabungkan) salat ketika safar. Zuhur dijamak dengan Asar, Magrib dengan Isya. Salat Subuh dikerjakan pada waktunya dan tidak dijamak dengan salat sebelumnya atau sesudahnya.

Menjamak salat dengan salat sebelumnya dinamakan jamak takdim. Misalnya yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Arafah ketika haji Wada, beliau menggabungkan salat Asar dengan Zuhur.

Menjamak salat dengan salat sesudahnya dinamakan jamak takhir. Misalnya yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam di Muzdalifah pada malam hari, beliau menggabungkan salat Magrib dan Isya.

Menjamak salat dibolehkan secara umum ketika ada masyaqqah (kesulitan). Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu beliau mengatakan:

جمع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بين الظهرِ والعصرِ ، والمغربِ والعشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مطرٍ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak salat Zuhur dan salat Asar, dan menjamak salat Magrib dan Isya, di Madinah padahal tidak sedang dalam ketakutan dan tidak hujan” (HR. Muslim no. 705).

Para ulama mengatakan alasan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak karena ada masyaqqah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

والقصر سببه السفر خاصة ، لا يجوز في غير السفر. وأما الجمع فسببه الحاجة والعذر

Dibolehkannya menqasar salat hanya ketika safar secara khusus, tidak boleh dilakukan pada selain safar. Adapun menjamak salat, dibolehkan ketika ada kebutuhan dan uzur. (Majmu’ Al Fatawa, 22/293).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

وله الجمع يجوز له الجمع بين الظهر والعصر، بين المغرب والعشاء، لكن تركه أفضل إذا كان نازلًا ليس عليه مشقة تركه أفضل

“Orang yang safar dibolehkan menjamak salat Zuhur dan Asar, salat Magrib dan Isya, namun meninggalkannya itu lebih utama, jika ia singgah di suatu tempat dan tidak ada kesulitan, maka meninggalkan jamak itu lebih utama”

Keempat, Dianjurkan Mengqasar Salat

Adapun mengqasar (meringkas) salat ketika safar, itu lebih dianjurkan. Ibnu Umar radhiallahu’anhu mengatakan:

صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ ، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

Aku biasa menemani Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan beliau tidak pernah menambah salat lebih dari dua rakaat dalam safar. Demikian juga Abu Bakar, Umar dan Utsman, radhiallahu’anhum.” (HR. Bukhari no. 1102, Muslim no. 689)

Maka mengqasar salat ketika safar hukumnya sunah muakkadah (sangat ditekankan). Namun jika menyempurnakan rakaat, salatnya tetap sah. Seorang musafir jika salat menjadi makmum dari imam yang berstatus mukim, maka musafir tersebut tidak boleh mengqasar.

Mengqasar salat adalah mengerjakan salat Zuhur atau salat Asar atau salat Isya hanya dua rakaat saja. Adapun salat Magrib dan salat Subuh tidak bisa diqasar.

Kelima, Wajib Salat di Darat Selama Masih Memungkinkan

Sebagaimana kita ketahui bersama, menghadap kiblat adalah syarat sah salat, tidak sah salatnya jika tidak dipenuhi. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (QS. Al Baqarah: 144)

Maka pada asalnya, salat wajib yang lima waktu dilakukan di darat dan tidak boleh dikerjakan di atas kendaraan karena sulit menghadap kiblat dengan benar.

Imam An-Nawawi lalu berkata: “hadis-hadis ini menunjukkan bolehnya salat sunah kemana pun binatang tunggangan menghadap. Ini boleh berdasarkan kesepakatan (ijma) kaum Muslimin.” Dan di tempat yang sama, beliau menjelaskan: “hadis ini juga dalil bahwa salat wajib tidak boleh kecuali menghadap kiblat, dan tidak boleh di atas kendaraan, ini berdasarkan kesepakatan (ijma) kaum Muslimin. Kecuali karena adanya rasa takut yang besar.” (Syarah Shahih Muslim, 5/211)

Keenam, Membaca Doa Keluar Rumah

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، قَالَ: يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ، وَكُفِيتَ، وَوُقِيتَ، فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ؟

”Apabila seseorang keluar dari rumahnya kemudian dia membaca doa: bismillaahi tawakkaltu ‘alallahi laa haula walaa quwwata illaa billah (dengan menyebut nama Allah, yang tidak ada daya tidak ada kekuatan kecuali atas izin Allah), maka dikatakan kepadanya, ‘Kamu akan diberi petunjuk, kamu akan dicukupi kebutuhannya, dan kamu akan dilindungi’. Seketika itu setan-setan pun menjauh darinya. Lalu salah satu setan berkata kepada temannya, ’Bagaimana mungkin kalian bisa mengganggu orang yang telah diberi petunjuk, dicukupi, dan dilindungi (oleh Allah)’” (HR. Abu Daud no. 5095, At Tirmidzi no. 3426; dishahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Ketujuh, Berpamitan Kepada Keluarga dan Tetangga

Dianjurkan untuk berpamitan kepada keluarga dan tetangga serta kerabat sebelum safar. Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu, beliau berkata:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يُوَدِّعُنا فيقول : أَستودِعُ اللهَ دِينَك وأمانتَك وخواتيمَ عملِك

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berpamitan kepada kami (sebelum safar) kemudian membaca doa: astaudi’ullah diinaka wa amaanataka wa khowaatima amalika (aku titipkan kepada Allah, agamamu, amanatmu, dan penutup amalanmu)” (HR. Ahmad, 6/242, Abu Daud no. 2600, At Tirmidzi no. 3443, dishahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Dan orang yang ditinggalkan membaca doa sebagaimana yang ada dalam hadis ini:

النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ودَّع رجلًا فقال : زوَّدكَ اللهُ التقوى , وغفَر لكَ ذنبَكَ , ويسَّر لكَ الخيرَ مِن حيثُما كنتَ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika memberi pesan kepergian kepada seseorang, beliau mengucapkanzawwadakallahut taqwaa wa ghafara laka zambaka wa yassara lakal khayra min haitsumaa kunta (semoga Allah memberimu bekal taqwa, dan mengampuni dosamu, dan memudahkan kebaikan untukmu dimanapun berada)” (HR. At Tirmidzi no. 3443, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Kedelapan, Membaca Doa Naik Kendaraan

Ketika naik kendaraan apapun, dianjurkan membaca doa:

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ . وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ

Subhaanalladzi sakhkhoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa innaa ila robbinaa lamunqolibuun

“Maha Suci Allah yang telah menundukkan kendaraan ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami”.

Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut:

وَالَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْفُلْكِ وَالْأَنْعَامِ مَا تَرْكَبُونَ . لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ . وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ

Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasang dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan, “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (QS. Zukhruf: 12-14).

Terdapat redaksi lain yang lebih panjang. Dalam hadiss Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اسْتَوَى عَلَى بَعِيرِهِ خَارِجًا إِلَى سَفَرٍ، كَبَّرَ ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: «سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا، وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ، وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ، اللهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا، وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ، وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ، وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ»

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam ketika naik ke untanya untuk pergi safar, beliau bertakbir 3x kemudian mengucapkan:

Subhaanalladzi sakhkhoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa innaa ila robbinaa lamunqolibuun. Allahumma innaa nas’aluka fi safarinaa hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardhoa. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza, wathwi ‘annaa bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli

(Maha Suci Allah yang telah menundukkan kendaraan ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami. Ya Allah kami memohon kebaikan dan ketaqwaan dalam safar kami dan keridhaan dalam amalan kami. Ya Allah mudahkanlah safar kami ini. Lipatlah jauhnya jarak safar ini. Ya Allah Engkaulah yang menyertai kami dalam safar ini, dan pengganti yang menjaga keluarga kami. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan safar ini, dari pemandangan yang menyedihkan, serta dari tempat kembali yang buruk baik dalam perkara harta dan perkara keluarga)” (HR. Muslim no. 1342)

Ketika pulang terdapat tambahan:

آيبونَ تائبونَ عابدون، لربِّنا حامدون

aayibuuna taa-ibuuna ‘aabiduuna lirobbinaa haamiduuna “(Kami kembali, dalam keadaan bertaubat dan menyembah kepada Rabb kami, dan memuji-Nya)” (HR. Muslim no. 1342)

Kesembilan, Memperbanyak Doa di Perjalanan

Hendaknya menggunakan waktu perjalanan untuk memperbanyak doa. Karena ketika safar adalah waktu terkabulnya doa. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

Ada tiga doa yang pasti dikabulkan dan tidak ada keraguan lagi tentangnya: doanya seorang yang dizalimi, doanya musafir, doa buruk orang tua terhadap anaknya’” (HR. Ahmad 2/434, Abu Daud no. 1536. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah).

Kesepuluh, Segera Pulang Jika Urusan Sudah Selesai

Hendaknya orang yang bersafar segera pulang ketika urusannya selesai dan tidak berlama-lama. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:

السَّفَرُ قِطعةٌ من العذاب؛ يمنعُ أحدَكم طعامَه، وشرابَه ونومَه، فإذا قضى أحدُكم نَهْمَتَه فليُعَجِّلْ إلى أهلِه

“Safar adalah sepotong azab, seseorang diantara kalian ada yang terhalang untuk makan, terhalang untuk minum atau untuk tidur. Maka jika kalian sudah menyelesaikan urusannya, maka hendaknya segera kembali pada keluarganya.” (HR. Bukhari no.3001, Muslim no.1927).

Kesebelas, Shalat Dua Rakaat Pulang Safar

Dianjurkan ketika pulang dari safar, sebelum menuju ke rumah, hendaknya salat dua rakaat di masjid. Dari Ka’ab bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

أَنَّ النَّبيَّ صلَّى الله عليه وسَلَّم كان إذا قَدِمَ من سفر بدأ بالمسجِدِ فركع فيه ركعتين ثُمَّ جلس

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika beliau pulang dari safar, beliau mendahulukan masuk masjid kemudian salat dua rakaat di masjid kemudian duduk.” (HR Bukhari no. 3088, Muslim no. 2769)

Keduabelas, Acara Makan-Makan Sepulang Safar

Dibolehkan membuat acara makan-makan ketika seseorang datang dari safar, acara ini disebut dengan an-naqi’ah. Istilah an-naqi’ah dari kata dasar an -naq’u yang artinya debu. Karena orang yang safar biasanya terkena debu di perjalanan. Terdapat hadis shahih dari Nabi Shallalahu’alaihi Wasallam:

أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً

“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam datang ke Madinah, beliau menyembelih unta atau sapi betina.” (HR. Bukhari no.2923 bab Ath Tha’am Indal Qudum).

Imam Al Bukhari membuat judul Bab “Bab jamuan ketika ada musafir yang datang”, Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma biasa menjamu makan orang yang datang kepadanya” (Fathul Baari, 6/194).

Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.

Artikel: Muslim.or.id | Editor: Reza