Menjadi Guru yang Sukses dan Berpengaruh #1

Keputusan yang tepat telah engkau ambil ketika engkau memilih mengemban profesi yang mulia ini, memikul risalah yang abadi ini. Engkau telah menjejakkan kakimu di pelataran untuk membangun dan mencetak generasi umat ini.

Saudaraku, guru…. Engkau tidak membutuhkan kata-kata indah dan tiupan seruling selamat datang.
Kesalahan besar dilakukan oleh orang yang mengira bahwa mengajar hanyalah sekedar profesi resmi. Pandangan sempit ini adalah kezhaliman dan pelecehan besar terhadap generasi muda -tidak hanya kepada guru semata- karena meremehkan kedudukan seorang guru.

Ia berpendapat bahwa mengajar adalah pekerjaan orang-orang yang menerima perkara rendahan, rela dengan kemalasan dan tidak mempunyai keinginan untuk bersaing memperebutkan martabat martabat yang tinggi.

Betapa bahagianya saya, dengan muka berseri, ketika saya melihatmu, wahai saudaraku, guru, pribadi yang membawa jiwa yang luhur, hati yang bergolak, tersayat pedih melihat realita umat, termenung sedih terhadap keadaan anak-anak muda.

Walau demikian, kesedihan ini bukan tembok penghalang dan jurang pemisah bagimu. Engkau tetap membawa optimisme tinggi, jiwa yang kokoh, yang selalu mengharapkan perbaikan dan perubahan. Namun tidak berhenti sebatas perasaan semata. Lihatlah, saya telah melihat buah jerih payahmu, hasil usahamu. Semoga Allah memberikan berkahNya kepadamu dan menambah ilmu dan amalmu.

Saudaraku, guru…. Saya sering mendengar kata-kata pujian tulus terlontar dari murid-muridmu. Saya sering melihat nilai-nilai mulia darimu terpancar pada diri mereka. Tidakkah engkau melihat para pemuda lugu yang berlomba meraih shaf pertama di masjid-masjid, berlomba duduk di halaqah-halaqah ilmu dan majlis-majlis kebaikan?

Saya tidak berkata kepadamu, ‘Pergilah ke sekolah-sekolah! Karena engkaulah pemilikNya. Tidakkah engkau melihat sekolah-sekolah, itu telah dihiasi dengan anak-anak muda pilihan? Mereka bersaing meraih harapan ter tinggi mengungguli kawan-kawannya. Seluruh yang engkau lihat -saudaraku yang mulia- adalah sebagian hasil jerih payahmu bersama guru-guru dan da’i-da’i yang lain.

Akan tetapi, walau telah ada usaha-usaha yang baik dan patut disyukuri, masih ada sebagian guru yang baik, agama mereka tidak disangsikan, kemuliaan mereka tidak diragukan. Kita mencintai mereka karena Allah. Kita yakin bahwa banyak dari mereka yang lebih mulia dari kita di sisi Allah. Kita berbahagia bertemu mereka, dengan doa-doa mereka yang tulus, namun mereka hanya sekedar menyayangkan realita dan bersedih akan kondisi kaum muda tanpa menggerakkan orang yang diam.

Saya meminta izin kepadamu saudaraku yang mulia, untuk berbicara dengan teman-teman kita tercinta tersebut karena hak mereka atas kita sangatlah besar.

Saudaraku yang mulia! Apakah engkau pernah memikirkan tingginya tempat yang engkau duduki, besarnya amanat yang engkau pikul. Para orang tua, laki-laki dan wanita yang telah berumur lanjut, menggantungkan harapan mereka -sesudah ke pada Allah- kepadamu untuk menjaga dan menyelamatkan anak anak mereka.

Para muslihin (yang melakukan perbaikan) yang mempunyai ghirah (semangat dan cemburu) menganggapmu sebagai harapan besar untuk menyelamatkan masyarakat. Umat -saudaraku yang mulia- mencari penyelamat untuk dirinya dan anak-anaknya, dan engkau, guru saudaraku, adalah bagian dari terminal harapan umat.

Saudaraku, guru…. Engkau wahai pembaca goresan pena ini, engkaulah yang aku maksudkan, bukan orang lain. Engkaulah tumpuan harapan kita, engkaulah jalan kami, tidak hanya kepada para pemuda dan para siswa, akan tetapi kepada seluruh manusia.

Saya tahu engkau akan berkata, ‘Ilmuku sedikit, kemam puanku terbatas, dan aku bukanlah spesialis bidang syariat.’ Saya mengetahui itu, akan tetapi saya yakin engkau mampu berbuat banyak. Meski dengan ilmu yang sedikit, kemampuan yang terbatas, dan pengalaman yang minim. Meski engkau menumpah kan seluruh sifat keterbatasan kepada dirimu dan meniti jalan tawadhu, engkau tetap bisa memberikan banyak. Dan kami tidak menuntut darimu, guru saudaraku, kecuali sebatas kemampuan mu. Bukankah engkau mampu mengucapkan kata yang tulus? Bukankah engkau mampu bersedih dan khawatir terhadap realita kehidupan anak-anakmu?

Alasan lain sering kita dengar, ‘Kurikulum panjang, waktu tidak ada. Saudaraku yang mulia, kami hanya ingin beberapa detik, engkau bisa menyediakannya dari banyak waktu yang terbuang percuma dan keterangan bertele-tele yang tidak penting.

Saudaraku, guru…. Betapa engkau tidak memerlukanku untuk menjelaskan keadaan pahit umat kita atau tentang konspirasi jahat terhadap kaum muda Muslim. Lupakah kamu apa yang dilakukan Dunlob dan kroni-kroninya? Lupakah engkau usaha generasi kera untuk menghalang-halangimu -dan engkau adalah seorang guru- untuk menyampaikan kalimat kebenaran yang tulus kepada hati yang haus dahaga?

Saudaraku, guru…. Saya berbicara kepada semangat dan ghirah yang ada pada dirimu untuk membela agama Allah. Engkau menghadapi anak-anak muda setiap hari. Engkau mengetahui kelalaian mereka dan alam kehidupan mereka. Engkau menyaksikan bagaimana mereka berpaling dan menjadi tempat pergolakan fitnah. Bagaimana mungkin tidak ada yang tergerak di dalam dirimu?

Tidakkah engkau melihat pemuda itu, yang hidup dengan himpitan gejolak-gejolak darah muda, melawan dorongan nafsu, dihempas oleh angin kencang dari segala pen juru? Atau pemuda lain yang jatuh ke dalam pangkuan teman teman yang buruk, dan mereka mengelilinginya seperti gelang mengelilingi pergelangan tangan? Saudaraku yang mulia, apa kah ketidakmampuan dan kurangnya pengalaman menjadikan mu lemah, tidak mampu memberikan sesuatu kepada pemuda ini dan pemuda senasib dengannya?

Bersambung

===========================

Sumber: Buku menjadi Guru yang sukses dan berpengaruh DR. Muhammad bin Abdullah ad-Duwaisy.

Penulis: Ustadz Rahmat Ridho, S. Ag | Editor: Resma