Menjadi Guru yang Sukses dan Berpengaruh #2

Saudaraku, guru…. Saya tidak hanya mengajakmu kepada amal kebajikan agar engkau memiliki peran di sana, Saya tidak mendorongmu untuk melakukan sesuatu yang sunnah, yang merupakan salah satu sunnah termulia, Saya bahkan mengajakmu agar engkau menjaga amanat, melaksanakan tanggung jawab.

dengan ungkapan yang lebih tepat agar engkau menunaikan kewajiban syar’i. Saudaraku guru…. Bukankah engkau adalah seorang pemimpin? Bukankah Nabi bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
“Masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing masing akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya.”

Bukankah engkau melihat kemungkaran? Bukankah Nabi bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ.
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaknya dia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya.”

Apakah urusannya sampai pada tingkat di mana engkau tidak mampu, kecuali hanya kalimat yang numpang lewat atau kritik pasif? Bukankah engkau mampu memikul semangat perbaikan? Bukankah engkau mampu memikirkan sarana-sarana pendidikan dan pengarahan kepada anak-anak muda?

Saudaraku guru…. Bagaimana engkau memikul amanat mengajarkan kurikulum pelajaran, dan sebagai imbalannya engkau menerima gaji dari uang kaum Muslimin? Ketika kita memanggilmu untuk memikul amanat dakwah dan bimbingan sebagai kewajiban atasmu pertama kali -dan ia lebih wajib bersamaan dengan duduknya dirimu di kursi pengajaran- saat kebutuhan mendesak untuk memikul amanat pendidikan, engkau beralasan tidak mampu, minim ilmu, dan miskin pengalaman, dan menurutmu ini adalah tawadhu. Bukan! Tawadhu adalah menunaikan kewajiban dengan memohon pertolongan kepada Allah Aneh, ini adalah pemahaman yang jungkir balik. Sejak kapan lari dari kewajiban dan menghindar dari tanggung jawab dinamakan tawadhu?

Saudaraku guru…. Bagaimana engkau menyalahkan kondisi para pemuda dan membuka kekurangan-kekurangan mereka, tetapi pada saat yang sama, tidak ada yang tergerak di dalam dirimu dan tidak ada usaha yang engkau lakukan?

Maaf atas kalimat yang tajam ini. Seandainya saya bisa memperkirakan tanggung jawabmu yang akan ditanyakan ke padamu di Hari Kiamat. Seandainya saya tidak berbicara kepada nuranimu yang mengerti, dan akalmu yang mengetahui, niscaya saya tidak berani menulis kata-kata tajam ini. Jikalau urusannya bisa dilihat dengan memejamkan mata, niscaya halaman ini harus diakhiri. Kalau bukan karena rasa percaya diriku yang besar bahwa apa yang saya ucapkan ini akan membangkitkan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di dalam dirimu, niscaya saya tidak akan menulis satu kata pun.

Saudaraku, guru…. Apakah engkau tidak ingin memiliki anak yang berbakti dan murid yang menghargai jerih payahmu? Apakah engkau tidak memerlukan doa yang baik, yang dipanjatkan oleh orang yang telah engkau beri kebaikan? Sesungguhnya ini merupakan hasil dan berita gembira bagi orang Mukmin yang disegerakan, adapun yang ada di sisi Allah maka ia lebih baik dan kekal.

Saudaraku guru…. Sesungguhnya perasaan terhadap pentingnya pengajaran, bahkan langkah-langkah ilmiah, merupakan tujuan yang berharga. Namun hendaknya kita tidak berhenti sampai di sini saja. Kita harus melangkah lebih jauh, dengan mengkaji seni pengajaran, metode-metode yang bisa memberi pengaruh. Ini adalah pintu yang lebar. Apa yang saya goreskan dengan pena tidak akan mencukupi, walau saya telah berusaha maksimal. Perkaranya lebih besar untuk ditangani oleh seorang yang penuh keterbatasan. Oleh karena itu, saya mengajak agar lebih banyak lagi usaha-usaha yang dikerahkan untuk menemu kan sarana-sarana yang bisa memberi pengaruh.

Hendaknya kita saling berbagi pengalaman. Di sini saya memanggil saudara-saudara saya untuk berpartisipasi dalam bidang ini, baik dalam bentuk tulisan, ceramah dan diskusi. Saya sangat berbahagia jika memperoleh kritikan, pendapat, saran dan usulan apapun dari teman-teman yang terhormat.

Saya menulis kata demi kata ini. Jika saya lupa, maka saya tetap tidak akan lupa terhadap seorang ustadz yang mulia yang membimbing saya di fase-fase permulaan -semoga Allah memberi beliau rahmat. Saya merasakan saat itu, sementara saya adalah seorang bocah polos. Keikhlasan dan rasa kasih sayang yang hangat terpancar dari wajah beliau, kalimat-kalimat beliau masih terus terngiang di telinga. Semoga Allah memberi beliau rahmat, pahala yang besar, serta derajat yang tinggi. Seorang ustadz lain yang Allah mengganti cahaya penglihatan beliau dengan cahaya bashirah (hati) beliau -semoga demikian dan Allah-lah pengawasnya dan saya tidak menyucikan seseorang atas nama Allah.- Demi Allah, berapa banyak beliau telah mendidik nilai-nilai keutamaan pada diri saya. Berapa banyak kata kata tulus yang telah saya dengar dari beliau. Jika sekarang saya lupa huruf-hurufnya, maka saya telah merefleksikannya dalam bentuk perbuatan yang riil. Ia pun menyatu dengan diri saya dan tidak terpisahkan. Apakah sesudah itu saya akan melupakan seorang Syaikh yang terhormat yang Allah memberikan nikmat kepada saya menghafal kitabNya melalui bimbingan beliau?

Sesudah mereka, saya bertambah umur. Saya pindah ke Ma’had Ilmi, maka saya memperoleh kehormatan menjadi murid para Syaikh dan ustadz -yang mulia dan terhormat Demi Allah, saya tidak mempunyai sesuatu untuk membalas dan mengakui jasa-jasa mulia mereka yang lebih baik daripada pujian yang tulus dan doa yang shalih. Ya Allah, ampunilah mereka semua. Tinggikanlah derajat mereka di dunia dan di Akhirat. Berikanlah mereka sebaik-baik balasan yang Engkau berikan kepada orang tua dan ustadz yang ikhlas.

Baca Juga : Menjadi Guru yang Sukses dan Berpengaruh #1

===========================

Sumber: Buku menjadi Guru yang sukses dan berpengaruh DR. Muhammad bin Abdullah ad-Duwaisy.

Penulis: Ustadz Rahmat Ridho, S. Ag | Editor: Resma