Mengikhlaskan Niat, Perbuatan dan Ucapan, Hadits 1 dan 2

Syarah Riyadhus sholihin
Bab 1 : Ikhlas dan Menghadirkan Niat Dalam Setiap Perbuatan dan Ucapan

Hadits No. 1

۱ – وَعَنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بْنِ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُرْطِ بْنِ رَزَاحِ بْنِ عَدِي بْنِ كَعْبِ بْنِ لُوَيِ بْنِ غَالِبِ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيَ رَضَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ((إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ)).

(متفق على صحته: رواه إماما المحدثين، أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة الجعفي البخاري، وأبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري رَضَ اللَّهُ عَنْهُما في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنة)

1. Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin al-Khathab bin Nufail bin Abdil Uzza bin Riyah bin Abdillah bin Qurth bin Razah bin Adiy bin Ka’ab bin Lu-ay bin Ghalib al-Qurasyiyyi al-Adawi radhiyallahu anhu, ia bercerita; (Pada suatu hari) aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Segala amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan seseorang itu akan memperoleh (balasan) sesuai dengan apa yang diniatkan olehnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada (untuk) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya.

Begitu pun barang siapa yang hijrahnya untuk kesenangan dunia yang hendak didapatkannya, atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada apa yang diniatkannya.”

Kandungan Hadits

1. Niat menjadi keharusan dalam suatu perbuatan; baik perbuatan itu merupakan tujuan utama, seperti shalat, maupun sekadar sarana atau perantara bagi perbuatan lainnya, seperti thaharah (bersuci). Yang demikian itu disebabkan wujud keikhlasan tidak bisa tergambarkan tanpa disertai niat.

Saya sendiri tidak mendapati perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai pensyaratan niat, terkecuali pada perbuatan yang sifatnya sekadar sarana/perantara. Adapun mengenai pensyaratan niat pada perbuatan yang menjadi maksud dan tujuan utama, mereka satu kata (sepakat). Perbedaan pendapat juga terjadi pada penyertaan niat pada awal perbuatan.

2. Niat itu tempatnya dalam hati, sehingga tidak perlu dilafazhkan dengan lisan (perkataan). Demikianlah kesepakatan para ulama dalam semua ibadah yang disyariatkan; seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, dan jihad.

Melafazhkan niat dengan lidah atau perkataan adalah bid’ah yang menyesatkan; maka sungguh keliru orang yang beranggapan boleh melafazhkan niat dalam ibadah haji, sedangkan dalam ibadah yang lainnya tidak dibolehkan. Kekeliruan ini dikarenakan orang itu tidak memahami perbedaan antara talbiyah dan niat.

Ihwal hukum niat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskannya secara terperinci dalam risalah khusus. Saya sendiri juga membahasnya secara luas dalam risalah yang diberi judul ad-Durarul Mudbiyyah fi Abkâmil Ikhlash wan Niyyah.

3. Amal-amal shalih harus disertai niat-niat yang baik. Niat yang baik tidak akan bisa mengubah kemungkaran menjadi kebajikan, ataupun bid’ah menjadi sunnah. Banyak orang yang mengharapkan kebaikan tetapi tidak pernah menggapainya (karena melupakan niat).

4. Ikhlas karena Allah ﷻ adalah salah satu syarat diterimanya suatu amal. Sebab, Allah hanya akan menerima amal yang diperbuat secara. tulus dan benar.

Tulus dalam arti amal itu dilakukan karena Allah, sedangkan benar artinya amal itu dilakukan sesuai dengan sunnah. Rasulullah ﷺ yang shahih.

Hadits No. 2


٢- وَعَنْ أُمّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمّ عَبْدِ اللَّهِ عَائِشَةَ رَضِ لِتَهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( يَغْزُوْ جَيْشُ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الْأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ)). قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ، وَفِيْهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ؟ قَالَ: يُخْسَفُ) بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ، ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ)). (متفق عليه هذا لفظ البخاري)

2. Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah radhiyallahu anha, ia bertutur; Rasulullah ﷺ bersabda: “Akan ada sekelompok pasukan yang hendak menyerang Ka’bah. Namun baru saja sampai di suatu tanah lapang yang luas, mereka semua, dari yang paling depan sampai yang paling belakang, dibenamkan ke dalam perut bumi (oleh-Nya).”

Aisyah melanjutkan; Aku kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana mereka semua dibenamkan, dari yang berada di barisan terdepan hingga barisan terbelakang, padahal di tengah-tengah mereka terdapat (orang-orang) pasar mereka, dan ada pula orang-orang yang bukan golongan mereka?” Beliau menjawab: “Mereka semua dibenamkan dari yang terdepan sampai yang terbelakang, kemudian kelak mereka dibangkitkan sesuai dengan niat masing-masing.”
Muttafaq ‘alaih, dan redaksi tersebut milik al-Bukhari.

Kandungan Hadits

1. Pelajaran agar menjauhi orang-orang yang suka berbuat zhalim, sekaligus peringatan agar tidak bergaul dengan mereka, ataupun bergabung dengan perkumpulan orang jahat dan yang semisalnya. Hal ini supaya kita tidak turut terkena siksaan yang ditimpakan kepada mereka.

2. Siapa saja yang bergabung dengan suatu kaum secara sukarela dalam melakukan suatu kemaksiatan maka dosa dan siksaan dari-Nya akan ditimpakan pula kepadanya.

3. Ganjaran perbuatan bergantung pada niat pelakunya.

4. Pemberitahuan Nabi Muhammad ﷺ tentang berbagai hal ghaib yang diperlihatkan Allah ﷻ kepada beliau. Ini termasuk masalah keimanan yang harus diyakini, dan hal itu tidak boleh diabaikan hanya karena pemberitahuan hal tersebut disampaikan melalui khabarul wahid asb dhabib (hadits shahih yang berstatus abad).

Bagaimanapun, riwayat demikian merupakan hujjah (dalil) bagi kita dalam masalah aqidah dan hukum-hukum syariat, dan tidak ada perbedaan di antara keduanya (yakni hadits abad dan matawatir). Demikianlah sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab al-Adillatu wary Syruihid fi Wajubil Akbdzi bi Khabaril Wahid fil Abkim wal Agå-id

5. Terdapat sesuatu yang menjadi pangkal ketidakjelasan di dalam hadits tersebut di atas, yaitu ketidakpahaman Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha mengenai penimpaan siksaan (pembenaman) terhadap orang-orang yang tidak berkeinginan melakukan penyerangan, yang penyerangan tersebut merupakan penyebab utama diberinya siksaan. Banyak pendapat yang berusaha mengungkap kejanggalan tersebut.

Ada yang berpendapat bahwa siksaan itu ditimpakan secara umum karena ajal mereka memang sudah tiba, lantas mereka dibangkitkan kembali berdasarkan niat masing-masing. Akan tetapi, ada pendapat lain yang memahaminya berbeda.

Menurut saya, siksaan Allah itu ditimpakan kepada kaum tersebut secara umum. Ya, sekalipun di antara mereka terdapat orang-orang yang terpaksa bergabung dengan mereka, orang-orang yang hendak berbelanja di pasar, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.

Sebab, orang-orang itu tidak takut terhadap fitnah yang ditimpakan tidak hanya kepada orang-orang zhalim secara khusus, tetapi juga mereka ikut terseret karena kezhaliman tersebut meskipun hal ini sama sekali tidak diinginkan. Oleh karenanya, mereka diikutsertakan bersama orang-orang zhalim itu.

Yang demikian ini sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa ayat al-Qur-an dan pada hadits-hadits Rasulullah ﷺ; bahwa siksaan yang ditimpakan Allah ﷻ mencakup orang-orang shalih apabila mereka tidak marah karena-Nya (ketika melihat suatu kemungkaran), adapun yang selamat darinya hanyalah mereka yang melakukan perbaikan. Allah ﷻ berfirman:

فَلَوْلَا كَانَ مِنَ الْقُرُونِ مِن قَبْلِكُمْ أُولُوا بَقِيَّةٍ يَنْهَوْنَ عَنِ الْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ إِلَّا قليلا ممَّنْ أَنجَيْنَا مِنْهُمْ وَاتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا مَا أُتْرِفُوا فِيهِ وَكَانُوا مُجْرِمِينَ وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ )

“Maka mengapa tidak ada di antara umat-umat sebelum kamu orang yang mempunyai keutamaan yang melarang (berbuat) kerusakan di bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang yang telah Kami selamatkan. Dan orang-orang yang zhalim hanya mementingkan kenikmatan dan kemewahan.

Dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. Dan Rabbmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, selama penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud [11]: 116-117)

Ini merupakan indikasi yang mengungkap salah satu sunnatullah dalam kehidupan berbagai umat manusia. Umat yang suka berbuat kerusakan dengan memerintahkan orang-orang untuk beribadah kepada selain Allah ﷻ di dalam bentuknya yang beraneka ragam, lalu di antara mereka ada beberapa orang yang menolak perintah tersebut (dan mereka dengan teguh menjelaskan kesesatannya), maka orang-orang itulah dan kebinasaan. yang selamat sehingga tidak akan ditimpa siksaan

Baca Juga : Mengikhlaskan Niat, Perbuatan dan Ucapan, Hadits 3 dan 4

=======================

Sumber : Bahjatun Nadzirin Syarah Riyadhus Shalihin (بهجة النا ظرين شرح رياض الصالحين) Karya Syaikh Salim Bin ‘Ied Al-Hilali حفظه الله تعالى

Penulis: Ustadz Rahmat Ridho, S. Ag