Baru-baru ini Kemenag dan MUI membahas tentang Aturan Nikah Beda Agama, berkaitan dengan hal tersebut, catatan iman kabasurau.co.id mengutip dari konsultasisyariah.com, ada pertanyaan muncul perihal tentang nikah beda agama, Apakah di perbolehkan menikah beda agama? yang mana suaminya Islam dan istrinya Kristen, Lantas bagaimana nasib anak yang mereka lahirkan? Apakah si anak tetap mengikuti agama keduanya atau menunggu dewasa untuk berpindah agama? Mohon penjelasannya!
Islam memberikan perlindungan kepada umatnya untuk menjaga agama mereka dan mengajak orang lain untuk hidup lebih teratur dengan masuk Islam. Salah satu aturan penting dalam Islam adalah melarang wanita Muslim menikah dengan lelaki non-Muslim karena hal ini dapat mengancam kestabilan agama mereka, terutama di negara yang pluralistik. Ini dapat membuat kelompok minoritas terpinggirkan oleh mayoritas.
Kenyataannya, banyak wanita Muslim menjadi korban pemaksaan oleh lelaki non-Muslim untuk berpindah agama, dan seringkali negara tidak memberikan perlindungan yang cukup. Suami dapat dengan mudah mengintimidasi istri mereka untuk berpindah agama, terutama jika istri tersebut memiliki kelemahan mental.
Agama adalah suatu bentuk ideologi, dan pemeluknya seringkali berusaha mengajak orang lain untuk menganut ideologi yang sama. Oleh karena itu, sangat sulit bagi seorang suami non-Muslim untuk mengizinkan istrinya yang Muslim untuk beribadah dan taat pada ajaran Islam, kecuali jika suami tersebut tidak memiliki ideologi yang kuat.
Menjawab pertanyaan Apakah di perbolehkan menikah beda agama? yang mana suaminya Islam dan istrinya Kristen, Lantas bagaimana nasib anak yang mereka lahirkan? Ustadz Kholid Syamhudi, Lc memaparkan beberapa hal berikut.
Memang Islam membenarkan pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) selama wanita itu selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama sang suami dan anak-anaknya. Dalam firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.” (QS. al-Maidah: 5)
Berdasarkan ayat di atas, Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) boleh dinikahi oleh laki-laki muslim.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pernikahan dengan wanita ahli kitab di sini yaitu:
- Lelaki muslim tersebut agamanya baik dan diyakini akan mampu tidak tergoda sehingga murtad.
- Lelaki tersebut mampu menjadi pemimpin rumah tangga dengan baik sehingga mampu menjaga agamanya dan agama keturunannya.
- Wanita ahli kitab di sini yang dimaksud adalah wanita Yahudi dan Nasrani. Agama Yahudi dan Nasrani dari dahulu dan sekarang dimaksudkan untuk golongan yang sama dan sama
sejak dahulu (di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu wahyu mereka telah menyimpang. - Wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya.
Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim hafizhohullah dalam Kitab Adhwaul Bayan mengatakan kenapa dibolehkan pria muslim menikah dengan wanita ahli kitab. Di karenakan Islam itu tinggi dan tidak mungkin ditundukkan agama yang lain. Sedangkan keluarga tentu saja dipimpin oleh laki-laki. Maka seorang suami bisa memberikan pengaruh tentang agama kepada istrinya. Sebagaimana dengan anak-anaknya harus mengikuti ayahnya dalam hal agama. (Adwaul Bayan 8/164-165)
Status anak yang lahir dari Nikah Beda Agama ini tidak diberi kebebasan dalam memilih agamanya. Akan tetapi anak harus mengikuti agama ayahnya yaitu Islam, sebab nasab sang anak mengikuti bapaknya, sebagaimana disampaikan imam Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (12/117). Anak tersebut mengikuti bapaknya dalam agama secara otomatis dan tidak mengikuti agama ibunya sampai dia murtad dari agama bapaknya. Hal ini didasari oleh beberapa alasan di antaranya:
Pertama, agama Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang menandingi ketinggiannya sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
الإِسْلاَمُ يَعْلُو وَلاَ يُعْلَى
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.” (HR. al-Bukhari)
Kedua, agama Islam adalah satu satunya agama yang diridhai Allah, terdapat dalam firman Allah,
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ الإِسْلآم
Dengan demikian agama sang bapak mengalahkan agama si ibu, sehingga anak ikut agama bapak.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imron: 19)
Ketiga, islam saja menghukumi laqith (anak yang ditemukan dan tidak diketahui nasabnya) di wilayah Islam sebagai muslim, meskipun di wilayah tersebut ada juga penduduk yang kafir.
Sehingga laqith tersebut diminta menjadi muslim dan jika menolak, maka di katakan sebagai murtad yang wajib dibunuh sebagaimana hal ini juga berlaku pada anak-anak kaum
muslimin yang keluar dari agamanya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Siapa yang menukar agamanya maka bunuhlah.” (HR. al-Bukhari)
Maka dari itu jelas bahwa anak yang di katakan sebagai muslim dengan mengikuti agama dari bapaknya dilarang untuk mengikuti agama dari ibunya. Ketika dia tetap bersikukuh untuk mengikuti agama dari ibunya maka dia akan dikatakan sebagai murtad, maka dari itu akan berlakunya hukum-hukum murtad dalam Islam.