Kabasurau.co.id. Pilot asal Selandia Baru, Phillip Mehrtens, telah dibebaskan dari penyanderaan oleh kelompok teroris OPM di Papua, Indonesia, dan dalam kondisi sehat setelah melewati 19 bulan dalam penyanderaan. Informasi ini disampaikan oleh pihak berwenang Indonesia dan Selandia Baru pada hari Sabtu.
Mehrtens, yang berusia 38 tahun, bekerja untuk maskapai penerbangan Indonesia, Susi Air, ketika diculik oleh kelompok teroris Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Bandara Nduga, Papua, pada 7 Februari tahun lalu.
Satuan tugas gabungan polisi dan militer menjemput Mehrtens di sebuah desa di Kabupaten Nduga pada Sabtu pagi. Setelah menjalani pemeriksaan medis dan psikologis, ia diterbangkan ke kota Timika, Papua.
“Hari ini kami menjemput pilot Phillip yang dalam kondisi sehat dan kami membawanya dari Nduga ke Timika,” kata Faizal Ramadhani, kepala satuan tugas khusus yang dibentuk untuk menangani teroris di Papua, dalam pernyataannya.
Pemerintah Selandia Baru juga mengonfirmasi kondisi baik Mehrtens dan menyatakan bahwa dia telah berbicara dengan keluarganya. “Kami senang dan lega mengonfirmasi bahwa Phillip Mehrtens dalam kondisi aman dan sehat serta sudah dapat berbicara dengan keluarganya,” ujar Menteri Luar Negeri Selandia Baru, Winston Peters. “Berita ini pasti sangat melegakan bagi teman-teman dan orang-orang yang dicintainya.”
Upaya Pembebasan
Pembebasan Mehrtens terjadi setelah upaya diplomatik intensif antara Wellington dan Jakarta. Presiden Indonesia, Joko Widodo, menyatakan bahwa keselamatan Mehrtens dapat dijamin melalui jalur negosiasi tanpa kekerasan.
“Kami mengutamakan keselamatan pilot yang disandera. Prosesnya memakan waktu lama dan saya mengapresiasi pihak berwenang,” ujar Presiden Jokowi kepada wartawan.
Sebelumnya, kelompok teroris menuntut pengakuan kemerdekaan Papua sebagai syarat pembebasan Mehrtens. OPM tidak memberikan tanggapan terkait permintaan komentar mengenai pembebasan ini.
Selama penyanderaan, kelompok teroris sempat mengancam akan membunuh Mehrtens jika negosiasi tidak segera dilakukan. Mereka juga menargetkan warga asing karena negara-negara asal mereka memiliki hubungan dengan Indonesia.
Militer Indonesia sempat melakukan operasi pencarian Mehrtens, tetapi mengalami serangan dari kelompok separatis. Pada April lalu, setidaknya satu prajurit tewas dalam serangan mendadak oleh kelompok bersenjata ketika melakukan pencarian.
Pada tahun lalu, teroris OPM membakar pesawat Susi Air dan membebaskan lima penumpang lainnya, tetapi tetap menahan Mehrtens.
Selama masa penyanderaan di pedalaman Papua, Mehrtens beberapa kali muncul dalam video yang diduga dibuat di bawah tekanan, menyampaikan pesan untuk keluarganya dan pemerintah. Meski kelompok teroris mengklaim bahwa ia dalam kondisi sehat, penampilan fisiknya berubah drastis, terlihat kurus, berambut panjang, dan berjenggot dalam video yang menunjukkan bahwa dia meminta obat untuk asma.
Setelah pembebasannya, foto yang disebarkan oleh pihak berwenang Indonesia menunjukkan bahwa Mehrtens dalam kondisi fisik yang baik.
Tentang Pilot yang Disandera
Phillip Mehrtens adalah seorang ayah dari satu anak yang tumbuh besar di Christchurch, Selandia Baru. Selama masa penyanderaannya, teman-temannya menggambarkan Mehrtens sebagai sosok yang baik dan lembut, yang “tulus” membantu masyarakat Papua dengan menyediakan jalur udara dan suplai penting ke daerah terpencil yang sulit dijangkau.
Indonesia mempertahankan kehadiran militer yang besar di Papua yang kaya sumber daya namun masih terbelakang, untuk menekan pemberontakan separatis yang telah berlangsung lama. Serangan teroris di wilayah tersebut meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan penerbangan menjadi satu-satunya pilihan untuk mencapai daerah-daerah pegunungan yang terpencil.
Seorang pilot Selandia Baru lainnya, Glen Malcolm Conning, berusia 50 tahun, ditembak mati bulan lalu setelah mendarat di wilayah tersebut bersama dua petugas kesehatan Indonesia dan dua anak, yang semuanya selamat.
Populasi Melanesia di Papua memiliki sedikit kesamaan budaya dengan sebagian besar wilayah Indonesia, dan militer Indonesia sering dituduh melakukan pelanggaran HAM berat di sana.
Mantan koloni Belanda ini menyatakan kemerdekaan pada tahun 1961, tetapi Indonesia mengambil alih dua tahun kemudian dengan janji untuk mengadakan referendum. Pada tahun 1969, sekitar seribu warga Papua memilih bergabung dengan Indonesia dalam pemungutan suara yang didukung oleh PBB. Aktivis kemerdekaan Papua secara rutin mengkritik pemungutan suara ini dan menyerukan referendum baru, tetapi Jakarta menyatakan kedaulatannya atas Papua didukung oleh PBB.