Oleh: Muhammad Okta Ilvan, S.Sos
Admin dan Pewarta Kabasurau.co.id, Berdomisili di Kota Padang
(Opini – Kabasurau.co.id)
Sumatera Barat pada 2025 menghadapi dinamika ekonomi yang menarik sekaligus menantang. Data terbaru menunjukkan pertumbuhan ekonomi provinsi ini masih berjalan positif, namun belum cukup kuat untuk menopang kesejahteraan masyarakat secara merata. Pertumbuhan yang melambat pada kuartal II 2025, tingkat pengangguran yang masih tinggi di wilayah perkotaan, serta disparitas inflasi antar daerah menjadi cermin bahwa pembangunan belum sepenuhnya inklusif. Di sisi lain, peluang dari stabilitas inflasi dan meningkatnya realisasi investasi membuka ruang optimisme.
Tulisan ini mencoba membedah kondisi ekonomi Sumbar 2025 berdasarkan data aktual, sekaligus menawarkan gagasan kebijakan yang lebih fokus pada pemerataan manfaat pembangunan.

Pertumbuhan Ekonomi: Positif, tetapi Melambat
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator utama dalam menilai kesehatan suatu daerah. Sumatera Barat pada 2025 mencatat pertumbuhan yang tetap positif, tetapi melambat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada kuartal I 2025, ekonomi Sumbar tumbuh sebesar 4,66 persen (year-on-year). Namun, pada kuartal II 2025 pertumbuhan ini melambat menjadi 3,94 persen. Angka ini memang masih di atas titik aman, tetapi tidak cukup untuk mendorong kesejahteraan masyarakat secara merata.
Penyumbang utama pertumbuhan ekonomi Sumbar tahun ini adalah sektor informasi dan komunikasi, real estat, serta industri pengolahan. Tiga sektor ini punya potensi jangka panjang, tetapi memiliki kelemahan besar dalam konteks penyerapan tenaga kerja. Misalnya, sektor informasi dan komunikasi berkembang pesat, tetapi lebih banyak menyerap tenaga kerja terampil dengan jumlah terbatas. Akibatnya, kelompok masyarakat yang bekerja di sektor tradisional, seperti pertanian dan perdagangan kecil, tidak merasakan dampak signifikan.
Sektor pertanian yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Sumbar justru mengalami perlambatan kontribusi. Hal ini tidak hanya menunjukkan kerentanan, tetapi juga memperlihatkan adanya kesenjangan antara pertumbuhan statistik dan realitas di lapangan.
Kondisi melambatnya pertumbuhan di kuartal II 2025 juga mengindikasikan bahwa perekonomian Sumbar belum memiliki daya tahan yang kuat. Ketergantungan pada sektor tertentu membuat ekonomi mudah terpengaruh oleh fluktuasi permintaan. Selain itu, konsumsi rumah tangga—yang biasanya menjadi penggerak utama pertumbuhan—belum cukup kuat akibat daya beli masyarakat yang stagnan.
Kondisi ini harus menjadi alarm bagi pemerintah daerah. Pertumbuhan ekonomi yang tidak konsisten bisa menjadi jebakan apabila tidak segera ditopang oleh kebijakan yang lebih strategis, khususnya untuk memperkuat basis produksi domestik.
Tantangan terbesar Sumbar adalah bagaimana menggeser orientasi pembangunan dari pertumbuhan yang berbasis angka statistik menuju pertumbuhan yang berakar pada kehidupan nyata masyarakat. Ketika PDRB meningkat tetapi pasar tradisional, petani, dan pekerja informal masih kesulitan, maka ada masalah serius dalam pemerataan manfaat pertumbuhan.
Namun, peluang tetap terbuka. Sektor pariwisata, energi terbarukan, dan industri pengolahan hasil pertanian masih memiliki potensi besar. Dengan perencanaan yang matang, ketiga sektor ini bisa menjadi tulang punggung baru yang tidak hanya menyumbang angka pertumbuhan, tetapi juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Pertumbuhan ekonomi Sumbar 2025 memang positif, tetapi melambat. Ini harus dibaca sebagai peringatan keras agar arah pembangunan segera dikoreksi. Tanpa strategi baru, pertumbuhan hanya akan menjadi angka di atas kertas. Yang dibutuhkan adalah pertumbuhan yang berkelanjutan, inklusif, dan mampu menyentuh masyarakat kecil. Pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan harus berani melakukan diversifikasi sektor, memperkuat daya beli masyarakat, dan menciptakan kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat banyak.
Inflasi Terkendali, Disparitas Masih Terasa
Inflasi adalah salah satu indikator ekonomi yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Di Sumatera Barat, sepanjang 2025, inflasi relatif terkendali. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi year-on-year pada April 2025 berada di angka 2,38 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya dan tergolong aman dalam kerangka target inflasi nasional. Namun, di balik stabilitas ini, terselip masalah serius: disparitas inflasi antar daerah yang justru memperlebar kesenjangan ekonomi di tingkat lokal.
Secara agregat, kondisi inflasi 2025 di Sumbar bisa dibilang kondusif. Harga-harga kebutuhan pokok tidak mengalami lonjakan tajam, bahkan cenderung stabil. Situasi ini memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan kebijakan pro-rakyat tanpa terlalu khawatir memicu tekanan harga. Misalnya, pemerintah bisa mendorong program subsidi pangan atau bantuan langsung tanpa risiko inflasi melonjak tinggi.
Selain itu, inflasi rendah juga memberi sinyal positif bagi dunia usaha. Investor dan pelaku bisnis cenderung lebih percaya diri untuk menanamkan modal karena kestabilan harga menandakan iklim usaha yang kondusif.
Namun, di balik kabar baik itu, ada ketimpangan inflasi antar kabupaten dan kota di Sumbar. Sebagian wilayah, khususnya yang dekat dengan jalur distribusi utama, menikmati harga kebutuhan pokok yang relatif stabil. Sebaliknya, daerah yang terletak jauh dari pusat distribusi atau sulit dijangkau transportasi menghadapi inflasi yang lebih tinggi, terutama untuk bahan makanan.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa persoalan logistik dan distribusi barang masih menjadi masalah klasik di Sumbar. Stabilitas harga di Padang atau Bukittinggi, misalnya, belum tentu sama dengan kondisi di Mentawai atau Pasaman. Masyarakat di daerah pinggiran tetap merasakan tekanan biaya hidup yang lebih berat meski inflasi provinsi secara agregat rendah.
Salah satu komponen inflasi yang paling dirasakan masyarakat adalah harga pangan. Fluktuasi harga beras, cabai, bawang merah, dan daging ayam sering menjadi penyebab utama ketidakstabilan inflasi di daerah. Walaupun Sumbar memiliki potensi besar di sektor pertanian, distribusi yang tidak merata membuat harga pangan antarwilayah berbeda jauh.
Kondisi ini ironis: provinsi yang memiliki sumber daya pertanian justru masih menghadapi masalah kestabilan harga pangan. Di sinilah pemerintah daerah harus fokus, bukan sekadar menjaga angka inflasi rendah, tetapi juga memastikan pemerataan kestabilan harga antarwilayah.
Mengatasi disparitas inflasi memerlukan strategi jangka panjang. Pemerintah perlu memperkuat infrastruktur logistik, mulai dari jalan penghubung antar daerah, pelabuhan, hingga transportasi darat dan laut. Selain itu, sistem cold-chain untuk menyimpan hasil pertanian dan perikanan harus dibangun agar harga tidak melonjak ketika pasokan berkurang.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memperluas program Gerakan Pangan Murah (GPM) secara lebih merata. Selama ini, program tersebut efektif menekan harga pangan di kota besar, tetapi belum menjangkau daerah-daerah terpencil.
Inflasi Sumbar 2025 memang terkendali, tetapi masih menyisakan pekerjaan rumah besar: disparitas antar daerah. Jika masalah ini tidak segera diatasi, stabilitas inflasi hanya akan menjadi ilusi yang dirasakan di kota-kota besar, sementara masyarakat di daerah terpencil tetap menderita karena harga kebutuhan pokok yang tinggi.
Oleh karena itu, pemerintah daerah harus memandang inflasi bukan sekadar angka statistik, tetapi juga realitas sosial-ekonomi masyarakat. Inflasi yang benar-benar sehat adalah inflasi yang terkendali dan merata, dirasakan oleh semua kalangan, dari perkotaan hingga pelosok pedesaan Sumatera Barat.
Pengangguran Urban: Tantangan Struktural
Di tengah pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat yang masih positif pada 2025, ada satu masalah yang terus membayangi: pengangguran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sumbar pada Februari 2025 berada di angka 5,69 persen. Secara agregat, angka ini menunjukkan tren menurun dibandingkan periode sebelumnya. Namun, jika dilihat lebih dekat, terutama di wilayah perkotaan seperti Padang, TPT tetap tinggi. Kondisi ini menandakan adanya persoalan struktural yang tidak bisa diatasi hanya dengan pertumbuhan ekonomi semata.
Di kota-kota besar, terutama Padang sebagai pusat aktivitas ekonomi, masalah pengangguran tetap mencolok. Banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak terserap pasar kerja, sementara sektor-sektor informal tidak mampu menyerap kelebihan tenaga kerja yang ada. Hal ini memperlihatkan adanya mismatch antara keterampilan tenaga kerja dengan kebutuhan industri.
Di sisi lain, sektor yang tumbuh pesat seperti informasi, komunikasi, dan real estat tidak mampu menampung tenaga kerja dalam jumlah besar. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang ada tidak serta merta menurunkan pengangguran di perkotaan.
Tantangan pengangguran urban di Sumbar bersifat struktural. Pendidikan formal menghasilkan lulusan dalam jumlah besar, tetapi dunia usaha membutuhkan keterampilan spesifik yang tidak selalu sesuai dengan kurikulum pendidikan. Misalnya, industri pariwisata memerlukan tenaga kerja dengan kemampuan bahasa asing, hospitality, dan digital marketing, namun banyak lulusan yang hanya memiliki keterampilan umum.
Selain itu, kurangnya investasi padat karya di perkotaan membuat lapangan kerja yang tercipta tidak cukup untuk menyerap angkatan kerja baru setiap tahunnya. Alhasil, angka pengangguran di kota tetap tinggi meski ekonomi provinsi secara keseluruhan tumbuh.
Pengangguran urban tidak hanya menjadi masalah ekonomi, tetapi juga berdampak sosial. Tingginya jumlah pengangguran di kota berpotensi menimbulkan masalah sosial seperti meningkatnya kriminalitas, urban poverty, hingga melemahnya daya beli masyarakat.
Jika tidak diatasi, hal ini bisa menjadi lingkaran setan: daya beli yang lemah akan menekan konsumsi rumah tangga, konsumsi yang lemah akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan yang melambat kembali mempersulit penciptaan lapangan kerja.
Mengatasi pengangguran urban membutuhkan kebijakan yang menyentuh akar masalah. Pertama, pemerintah daerah harus memperkuat pendidikan vokasi yang berbasis pada kebutuhan industri. Program pelatihan kerja harus dirancang sesuai dengan potensi lokal. Misalnya, di Padang dapat dikembangkan pelatihan untuk sektor jasa, logistik, dan industri kreatif.
Kedua, perlu ada insentif bagi investor yang berorientasi pada penyerapan tenaga kerja. Investasi padat karya seperti industri pengolahan hasil pertanian, manufaktur skala menengah, dan pariwisata berbasis masyarakat harus menjadi prioritas.
Ketiga, kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan dunia usaha mutlak dilakukan. Tanpa keterhubungan antara penyedia pendidikan dan pengguna tenaga kerja, mismatch keterampilan tidak akan pernah teratasi.
Pengangguran urban di Sumbar 2025 adalah masalah struktural yang tidak bisa dibiarkan. Pertumbuhan ekonomi yang positif tidak akan berarti jika tidak mampu menyerap tenaga kerja, terutama di kota-kota besar. Pemerintah daerah harus segera mengambil langkah konkret: memperkuat pendidikan vokasi, mendorong investasi padat karya, dan membangun ekosistem pasar kerja yang lebih inklusif.
Dengan langkah-langkah tersebut, pengangguran bukan hanya bisa ditekan, tetapi juga diubah menjadi peluang. Generasi muda perkotaan Sumbar bisa menjadi motor penggerak ekonomi baru jika diberi keterampilan yang tepat dan kesempatan yang adil.Sumbar.
Investasi Mulai Mengalir: Perlu Arah yang Jelas
Investasi merupakan mesin penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Tanpa arus modal, sulit membayangkan pembangunan infrastruktur, penciptaan lapangan kerja, maupun peningkatan daya saing industri. Tahun 2025 menjadi momentum yang cukup menggembirakan bagi Sumatera Barat karena realisasi investasi mulai menunjukkan tren positif. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Investasi yang masuk harus diarahkan dengan jelas agar benar-benar memberikan dampak luas bagi masyarakat, bukan hanya segelintir pihak.
Data terbaru menunjukkan, realisasi investasi di Sumbar pada kuartal I 2025 cukup menjanjikan. Kota Padang, misalnya, mencatat investasi sekitar Rp847 miliar, dengan kontribusi dari berbagai sektor, mulai dari energi, logistik, hingga industri pengolahan. Arus modal asing maupun domestik ini menunjukkan bahwa Sumbar mulai dipandang sebagai daerah yang layak untuk pengembangan bisnis.
Momentum ini perlu diapresiasi karena selama beberapa tahun terakhir, Sumbar sering tertinggal dari provinsi lain dalam menarik investor. Keberhasilan mendatangkan investasi pada 2025 menunjukkan adanya perbaikan iklim usaha serta meningkatnya daya tarik Sumbar di mata pelaku bisnis.
Meski tren ini positif, ada risiko besar jika investasi yang masuk tidak diarahkan dengan tepat. Banyak investasi cenderung berfokus pada sektor yang padat modal, tetapi minim penyerapan tenaga kerja. Jika pola ini berlanjut, manfaat investasi hanya akan terasa pada level makro, sementara masyarakat lokal tidak banyak menikmati dampaknya.
Selain itu, tanpa pengaturan yang baik, investasi bisa memunculkan masalah lingkungan, konflik lahan, dan kesenjangan sosial. Investasi yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek berpotensi merusak fondasi ekonomi daerah dalam jangka panjang.
Pemerintah daerah sering kali bangga menyebut angka realisasi investasi yang tinggi. Namun, ukuran keberhasilan investasi seharusnya bukan hanya pada nilai rupiah yang tercatat, melainkan juga kualitas dan dampak yang dihasilkan. Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah:
- Apakah investasi yang masuk menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah signifikan?
- Apakah investasi tersebut membangun rantai nilai dengan pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) lokal?
- Apakah investasi dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan?
Jika tiga pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan tegas, maka investasi yang masuk hanya akan menjadi statistik kosong.
Sumbar memiliki potensi besar di sektor pariwisata, energi terbarukan, serta industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan. Investasi di sektor-sektor ini tidak hanya membuka peluang ekonomi baru, tetapi juga relevan dengan kekuatan lokal. Misalnya, pembangunan hotel, restoran, dan jasa wisata akan mendorong lapangan kerja di bidang pariwisata. Investasi energi panas bumi yang tengah dikembangkan harus diikuti dengan program pelibatan masyarakat sekitar.
Industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan juga sangat penting. Selama ini, produk pertanian Sumbar lebih banyak dijual dalam bentuk mentah, sehingga nilai tambah dinikmati daerah lain. Dengan adanya investasi industri pengolahan, petani dan nelayan lokal akan merasakan manfaat langsung berupa harga jual lebih baik dan pasar yang lebih stabil.
Investasi Sumbar 2025 memang mulai mengalir, tetapi arah kebijakan harus diperjelas. Pemerintah daerah tidak boleh hanya mengejar angka realisasi, melainkan harus memastikan kualitas investasi. Investasi yang berkualitas adalah yang mampu menyerap tenaga kerja lokal, memperkuat UMKM, dan menjaga keberlanjutan lingkungan.
Momentum 2025 harus dijadikan titik balik: Sumbar tidak boleh puas hanya menjadi pasar, tetapi harus menjadi produsen dengan kekuatan ekonomi berbasis pada potensi lokal. Dengan demikian, investasi benar-benar menjadi motor pertumbuhan yang inklusif dan berkeadilan.
Rekomendasi Kebijakan untuk Pemerataan
Ekonomi Sumatera Barat pada 2025 menghadapi dilema klasik: pertumbuhan ada, tetapi belum merata. Data menunjukkan, meski Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masih mencatat tren positif, masyarakat di berbagai daerah belum sepenuhnya merasakan manfaatnya. Inflasi terkendali, namun disparitas harga antarwilayah tetap terasa. Investasi mengalir, tetapi penyerapannya terhadap tenaga kerja lokal masih terbatas. Masalah pengangguran urban pun belum terpecahkan.
Kondisi ini menuntut arah kebijakan yang lebih tajam dan berpihak pada rakyat. Pembangunan ekonomi Sumbar harus bergerak dari sekadar mengejar angka pertumbuhan menuju pemerataan kesejahteraan.
Kebijakan investasi di Sumbar sering kali hanya berfokus pada nilai nominal yang berhasil ditarik. Padahal, yang lebih penting adalah sejauh mana investasi tersebut mampu menciptakan lapangan kerja. Pemerintah daerah perlu menyusun skema insentif yang mengikat penyerapan tenaga kerja lokal.
Investor yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar harus diberi kemudahan perizinan, keringanan pajak, atau fasilitas infrastruktur. Sebaliknya, investasi yang hanya padat modal tetapi minim penyerapan tenaga kerja perlu dievaluasi. Dengan cara ini, investasi bukan hanya menjadi statistik, tetapi benar-benar menyentuh kehidupan masyarakat.
Masalah pengangguran urban di Sumbar sebagian besar berasal dari mismatch keterampilan. Lulusan pendidikan formal sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Karena itu, pendidikan vokasi harus diperkuat dan disesuaikan dengan klaster ekonomi daerah.
Misalnya, di kawasan wisata seperti Bukittinggi dan Mentawai, pendidikan vokasi bisa difokuskan pada hospitality, bahasa asing, dan digital marketing. Di daerah energi panas bumi seperti Pasaman, pelatihan teknis pengeboran dan pengelolaan energi bisa dikembangkan. Dengan model ini, lulusan pendidikan vokasi langsung siap masuk ke pasar kerja sesuai kebutuhan lokal.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah tulang punggung ekonomi Sumbar. Namun, pelaku UMKM seringkali terpinggirkan dari arus besar investasi. Untuk itu, pemerintah harus menjadi fasilitator yang menghubungkan UMKM dengan proyek-proyek besar.
Skema link and match dapat diterapkan agar UMKM lokal bisa menjadi pemasok bahan baku, jasa, atau produk pendukung bagi industri besar yang masuk ke Sumbar. Langkah ini tidak hanya memperkuat daya saing UMKM, tetapi juga memastikan manfaat investasi lebih merata.
Disparitas inflasi antarwilayah di Sumbar sebagian besar disebabkan oleh lemahnya sistem distribusi. Produk pertanian melimpah di daerah tertentu, tetapi sulit diakses oleh wilayah lain. Akibatnya, harga pangan bisa berbeda jauh antar kabupaten/kota.
Pemerintah harus mempercepat pembangunan infrastruktur logistik yang menghubungkan sentra produksi dengan pasar. Selain itu, sistem cold-chain untuk penyimpanan hasil pertanian dan perikanan mutlak diperlukan agar produk tidak cepat rusak. Dengan demikian, pasokan lebih stabil dan harga pangan lebih terkendali.
BPS Sumbar sebenarnya telah menyediakan data yang detail hingga tingkat kabupaten/kota. Sayangnya, data ini sering tidak dijadikan dasar dalam perumusan kebijakan. Pemerintah daerah perlu berani membuat program yang spesifik sesuai kondisi wilayah, bukan sekadar kebijakan umum yang tidak tepat sasaran.
Misalnya, kota dengan tingkat pengangguran tinggi membutuhkan program padat karya dan pelatihan vokasi. Sementara daerah agraris perlu dukungan infrastruktur pertanian dan akses pasar. Pendekatan berbasis data granular akan membuat kebijakan lebih efektif dan efisien.
Ekonomi Sumbar 2025 memberi kita pelajaran penting: pertumbuhan tanpa pemerataan tidak akan membawa kesejahteraan. Karena itu, rekomendasi kebijakan yang menekankan pada penyerapan tenaga kerja, pendidikan vokasi, penguatan UMKM, infrastruktur logistik, dan kebijakan berbasis data harus segera diwujudkan.
Sumatera Barat memiliki semua modal dasar: sumber daya alam yang melimpah, posisi strategis, serta kekayaan budaya yang dapat mendorong pariwisata. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian untuk mengubah strategi pembangunan dari sekadar mengejar angka pertumbuhan menuju pemerataan manfaat ekonomi.
Jika hal ini dilakukan, maka ekonomi Sumbar bukan hanya tumbuh di atas kertas, tetapi juga hidup dalam denyut keseharian masyarakat, dari perkotaan hingga pelosok nagari.
Pertumbuhan yang Harus Inklusif
Sumatera Barat pada 2025 berada di persimpangan jalan. Pertumbuhan ekonomi yang masih positif dan inflasi yang terkendali adalah modal awal yang baik. Namun, persoalan melambatnya pertumbuhan kuartalan, tingginya pengangguran urban, serta disparitas harga antarwilayah adalah alarm peringatan agar arah pembangunan segera dikoreksi.
Pemerintah daerah harus memastikan bahwa investasi yang masuk berkualitas, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat rantai nilai lokal. Pada saat yang sama, pendidikan vokasi, penguatan UMKM, dan infrastruktur logistik harus menjadi prioritas agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya menjadi angka di atas kertas, tetapi benar-benar dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat Sumbar.
Ekonomi Sumatera Barat akan lebih kuat jika dibangun dengan prinsip keberlanjutan dan pemerataan. Tahun 2025 harus menjadi momentum untuk mengubah strategi pembangunan: dari sekadar mengejar angka pertumbuhan menuju pembangunan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Artikel opini ini diterbitkan pertama kali di http://www.kabasurau.co.id