Oleh: Muhammad Okta Ilvan, S.Sos
(Opini – Kabasurau.co.id)

Tanggal 8 September 2025, Presiden Prabowo Subianto mengejutkan publik dengan mencopot Sri Mulyani Indrawati dari jabatan Menteri Keuangan. Sri Mulyani adalah figur penting: simbol disiplin fiskal, reformasi pajak, dan dipercaya pasar internasional. Selama ini ia dianggap “benteng terakhir” APBN.

Dampak langsung pun terasa. IHSG turun sekitar 1,28% hanya sehari setelah pergantian, sementara rupiah melemah lebih dari 1% terhadap dolar AS.1 Reaksi pasar mencerminkan satu hal: kredibilitas fiskal Indonesia sangat melekat pada sosok Sri Mulyani.

Kursi itu kini ditempati Purbaya Yudhi Sadewa. Ia lahir di Bogor tahun 1964, lulusan Teknik Elektro ITB, kemudian meraih MSc dan PhD bidang ekonomi di Purdue University, Amerika Serikat. Kariernya panjang: pernah di Danareksa, menjadi Deputi Menko Perekonomian, hingga menjabat Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode 2020–2025.2

Gebrakan Rp200 Triliun: Solusi atau Sekadar Pindah Uang?

Langkah awal Purbaya langsung heboh. Ia mendorong pemindahan dana pemerintah sekitar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank Himbara. Tujuannya jelas: memperlonggar likuiditas agar kredit mengalir ke sektor riil.

Namun pertanyaan publik sederhana: apakah dana itu betul-betul sampai ke pelaku usaha, UMKM, dan rakyat kecil? Atau hanya berhenti di meja bank sebagai angka laporan?

Sejarah menunjukkan, likuiditas tidak otomatis jadi kredit produktif. Bank cenderung menyalurkan kredit ke sektor yang aman dan minim risiko, bukan UMKM yang rentan. Jika tanpa kebijakan insentif atau garansi, gebrakan Rp200 triliun bisa berakhir sebagai sekadar pemindahan uang, bukan pemicu pertumbuhan.

Target 8%: Ambisi Tinggi, Realita Berat

Dalam pidato perdananya, Purbaya menyebut target pertumbuhan ekonomi 6–8% “tidak mustahil”.3 Angka ini memang memikat, tapi juga menimbulkan skeptisisme.

Fakta sejarah: sejak krisis 1997–1998, Indonesia belum pernah mencapai pertumbuhan setinggi itu. Rata-rata pertumbuhan pascareformasi hanya berkisar 5%. Untuk menembus 8%, diperlukan kombinasi besar: infrastruktur solid, birokrasi efisien, arus investasi deras, produktivitas tenaga kerja meningkat, serta stabilitas politik dan sosial.

Tanpa semua itu, target 8% hanya akan menjadi slogan politik, bukan kenyataan ekonomi. Publik tentu lelah dengan angka-angka indah yang tidak pernah tercermin pada harga sembako atau ketersediaan lapangan kerja.

Populisme vs Disiplin Fiskal

Pemerintah saat ini gencar dengan program populis seperti makan gratis di sekolah dan berbagai subsidi sosial. Secara moral, siapa yang menolak? Tapi masalahnya ada pada pembiayaan.

APBN 2026 yang disusun di era Sri Mulyani menargetkan defisit 2,48% dari PDB.4 Jika program sosial besar tidak dibarengi dengan kenaikan penerimaan pajak, risiko defisit melebar sangat besar. Bukan hanya itu, utang bisa bertambah, inflasi meningkat, dan harga kebutuhan pokok makin menekan rakyat.

Sri Mulyani dulu sering menjadi “rem” atas kebijakan populis. Kini, pertanyaan publik: apakah Purbaya akan berani memainkan peran rem itu, atau justru menjadi sopir yang menekan gas tanpa menghitung bensin?

Reaksi Pasar: Alarm Awal

Pasar sudah memberi sinyal. Selain IHSG dan rupiah yang melemah, obligasi negara juga mengalami tekanan.5 Investor khawatir disiplin fiskal akan kendor, sementara belanja sosial membengkak.

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Kredibilitas fiskal Indonesia selama ini bertumpu pada figur menteri keuangan yang kuat. Pergantian mendadak ke sosok yang lebih dekat ke politik menimbulkan pertanyaan: apakah kebijakan fiskal masih berbasis data, atau lebih tunduk pada kepentingan populis?

Harapan Baru, Risiko Lama

Purbaya tentu bukan orang sembarangan. Ia ekonom berpengalaman, birokrat senior, dan kini punya dukungan politik penuh. Modal ini bisa membuatnya lebih leluasa mengambil keputusan dibanding Sri Mulyani yang sering berseberangan dengan elite politik.

Namun, dukungan politik juga bisa jadi jebakan. Tanpa disiplin, program besar bisa jadi beban. Indonesia sudah kenyang janji manis; rakyat hanya akan percaya bila ada bukti nyata.

Beberapa langkah strategis yang seharusnya ditempuh Purbaya:

  1. Transparansi penuh: laporan realisasi kebijakan dan dampak ke masyarakat.
  2. Insentif kredit produktif: agar bank menyalurkan dana ke sektor riil, bukan hanya ke proyek aman.
  3. Pertahankan disiplin defisit: jaga agar tetap ≤3% PDB, sesuai amanat UU.
  4. Reformasi perpajakan: modernisasi sistem, cegah kebocoran, perluas basis pajak digital.
  5. Belanja padat karya: fokus pada infrastruktur kecil dan program penciptaan kerja langsung.

Penutup: Publik Harus Tetap Kritis

Purbaya datang dengan semangat baru, janji besar, dan target tinggi. Tapi di balik semua itu, ada risiko lama: ekspektasi yang terlalu muluk, pasar yang cemas, dan rakyat yang masih menunggu bukti.

Sebagai rakyat, kita tentu ingin optimis. Tapi optimisme tanpa kritisisme hanya akan membuat kita lengah. Maka, pertanyaan mendasarnya tetap sama:

Apakah Menteri Keuangan baru ini benar-benar bekerja untuk rakyat, atau hanya menjadi perpanjangan tangan politik di atas kertas?

Rujukan Fakta :

  1. Financial Times – Indonesia’s financial markets rattle after cabinet reshuffle (9/9/2025).
  2. Tempo – Reaksi Pasar Setelah Sri Mulyani Diganti (9/9/2025).
  3. Detik – Profil Purbaya Yudhi Sadewa (8/9/2025).
  4. Reuters – New Indonesia finance minister seeks quick boost, says 8% growth not impossible (8/9/2025).
  5. Reuters – Indonesia might revise 2026 budget after finance chief shake-up (11/9/2025).

Artikel opini ini diterbitkan pertama kali di http://www.kabasurau.co.id