Oleh: Muhammad Okta Ilvan, S.Sos
(Opini – Kabasurau.co.id)
Analisis krisis harga pangan dan kebutuhan pokok di Sumatera Barat
Warga Sumatera Barat belakangan ini kembali merasakan dampak kenaikan harga bahan pokok. Cabai merah menembus Rp100 ribu per kilogram, beras ikut merangkak naik, bahkan bawang dan sayur-sayuran pun tak ketinggalan. Kondisi ini jelas memberatkan, terutama bagi keluarga dengan pendapatan terbatas.
Pemerintah memang bergerak cepat dengan operasi pasar dan bazar murah. Namun, apakah langkah ini cukup untuk menjawab masalah yang sesungguhnya lebih mendalam?
Data yang Bicara
Beberapa fakta penting memperlihatkan situasi krisis pangan di Sumbar:
- Inflasi pangan meningkat. BPS Sumbar mencatat inflasi tahunan (year-on-year) April 2025 sebesar 2,38% (IHK 109,77), dengan komponen pangan menjadi penyumbang utama gejolak harga.
- Produksi beras menurun. Data resmi BPS menunjukkan luas panen dan produksi padi di 2024 turun dibanding 2023. Penurunan ini berimbas langsung pada ketersediaan beras lokal.
- Harga komoditas hortikultura fluktuatif. Catatan harga harian memperlihatkan cabai, bawang, dan ikan mengalami lonjakan tajam dalam periode singkat akibat faktor cuaca dan masa panen yang pendek.
- Stok beras Bulog relatif aman. Awal 2025, Bulog Sumbar menyatakan memiliki cadangan beras sekitar 24 ribu ton, yang digunakan untuk operasi pasar dan penyaluran bantuan.
Data ini menunjukkan bahwa persoalan pangan di Sumbar bukan hanya soal permintaan sesaat, tetapi juga menyangkut penurunan produksi, distribusi yang mahal, dan manajemen stok.
Mengapa Harga Bisa Melonjak?
Ada beberapa penyebab utama:
- Produksi lokal menurun. Turunnya luas panen padi di 2024 mengurangi suplai lokal. Ketergantungan pada pasokan dari luar provinsi membuat harga lebih mudah naik.
- Komoditas hortikultura sangat rentan. Cabai dan bawang mudah rusak dan sangat dipengaruhi cuaca. Saat produksi terganggu, harga langsung melambung.
- Distribusi dan logistik mahal. Kondisi geografis Sumbar yang berbukit, ditambah infrastruktur jalan yang terbatas, membuat biaya angkut tinggi dan menambah harga jual di pasar.
- Faktor alam dan bencana. Cuaca ekstrem, banjir, atau gagal panen menyebabkan pasokan mendadak berkurang.
- Permintaan musiman. Menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, permintaan naik signifikan. Praktik spekulasi dan penimbunan juga kerap memperparah situasi.
Apa yang Sudah Dilakukan Pemerintah?
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sejauh ini telah mengambil langkah-langkah berikut:
- Menggelar operasi pasar dan bazar murah, untuk menekan harga dan membantu masyarakat berpenghasilan rendah.
- Menyalurkan beras cadangan pemerintah melalui Bulog, sekaligus menjamin stok tetap tersedia.
- Membentuk satgas pangan untuk memantau harga dan mencegah penimbunan.
Langkah ini tentu bermanfaat. Namun, sifatnya masih reaktif: memadamkan api ketika harga sudah terlanjur melonjak, tanpa benar-benar memperbaiki akar persoalan.
Di Mana Letak Kelemahan Kebijakan?
- Kebijakan lebih banyak jangka pendek ketimbang membangun sistem ketahanan pangan yang berkelanjutan.
- Koordinasi antar daerah lemah. Data produksi dan distribusi real-time masih kurang, sehingga suplai tidak bisa cepat dialihkan dari daerah surplus ke daerah defisit.
- Fokus pada beras, lupa hortikultura. Cadangan beras cukup aman, tetapi cabai, bawang, dan sayur yang justru paling bergejolak sering kurang mendapat perhatian.
- Perlindungan petani minim. Subsidi pupuk dan benih tidak cukup; petani butuh akses modal, teknologi, serta asuransi pertanian untuk menghadapi risiko gagal panen.
Jalan Keluar: Rekomendasi Kebijakan
Untuk menghindari krisis berulang, pemerintah perlu bergeser dari pola reaktif menuju strategi yang lebih menyeluruh:
- Perkuat cadangan pangan. Stok Bulog harus terus dijaga minimal untuk 3–6 bulan, bukan hanya ketika krisis.
- Bangun infrastruktur distribusi. Jalan ke sentra produksi, pasar pengumpul, dan fasilitas penyimpanan dingin untuk hortikultura sangat mendesak.
- Dukung produktivitas petani. Berikan paket lengkap: benih tahan cuaca, irigasi mikro, pelatihan budidaya, serta akses pembiayaan murah.
- Bangun sistem informasi harga dan stok real-time. Ini akan memudahkan pengambilan keputusan cepat untuk distribusi antar-daerah.
- Asuransi pertanian. Petani butuh perlindungan agar tidak bangkrut ketika gagal panen akibat bencana.
- Subsidi tepat sasaran. Bantuan pangan tunai atau voucher belanja lebih efektif ketimbang subsidi umum yang rawan salah sasaran.
Harga pangan adalah soal keseharian rakyat. Ketika harga melonjak, yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat kecil yang penghasilannya terbatas. Pemerintah memang sudah bergerak dengan operasi pasar, stok Bulog, dan pemantauan harga. Tetapi langkah ini hanya meredakan gejala, bukan menyembuhkan penyakit.
Jika Sumbar ingin benar-benar kuat menghadapi gejolak pangan, kebijakan harus bergeser dari memadamkan api menjadi membangun sistem. Investasi pada produksi lokal, distribusi yang efisien, manajemen stok yang cerdas, serta perlindungan bagi petani dan masyarakat miskin harus menjadi prioritas.
Karena pada akhirnya, urusan pangan bukan sekadar isi meja makan. Ia adalah soal ketenangan, keamanan, dan martabat hidup masyarakat Sumatera Barat.
Artikel opini ini diterbitkan pertama kali di http://www.kabasurau.co.id