Oleh: Muhammad Okta Ilvan, S.Sos
(Opini – Kabasurau.co.id)
Di atas kertas, angka literasi di Sumatera Barat tampak nyaris sempurna. Data resmi BPS menunjukkan bahwa generasi muda 15–24 tahun sudah hampir sepenuhnya melek huruf, dengan capaian 99,9 persen. Namun, apakah itu berarti persoalan literasi sudah selesai? Sayangnya tidak. Di balik statistik yang indah, masih terselip retakan: kesenjangan antarwilayah, kualitas literasi yang dangkal, hingga tantangan baru berupa literasi digital dan ancaman misinformasi.
Artikel ini mencoba mengupas secara kritis realitas literasi masyarakat Sumbar tahun 2025, dengan bertumpu pada data valid, pengalaman lapangan, serta refleksi akademis.
Data Dasar: Capaian Tinggi yang Mengundang Optimisme
- Generasi muda nyaris tanpa buta huruf
Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat melek huruf penduduk umur 15–24 tahun di Sumatera Barat mencapai 99,9 persen. Ini pencapaian yang patut diapresiasi. Sebab, hanya beberapa dekade lalu, buta huruf masih menjadi masalah besar di daerah pedesaan. - Angka buta huruf nasional menurun
Secara nasional, survei BPS 2023 mencatat angka buta huruf 3,18 persen untuk penduduk berusia 10 tahun ke atas. Sumatera Barat berada di atas rata-rata nasional, membuktikan efektivitas program pendidikan dasar di provinsi ini. - Namun disparitas tetap ada
Laporan BPS tingkat kabupaten/kota mengungkapkan ketimpangan. Misalnya, wilayah perkotaan seperti Padang mencatat literasi hampir sempurna, sementara daerah pedalaman dan pesisir masih menyisakan kelompok masyarakat buta huruf, terutama usia dewasa dan lansia. - Tantangan global: kualitas literasi
UNESCO dalam laporan Hari Literasi Internasional (2025) menekankan bahwa “melek huruf” tidak lagi cukup hanya bermakna bisa membaca dan menulis. Literasi kini mencakup keterampilan berpikir kritis, pemahaman bacaan mendalam, literasi digital, hingga literasi finansial.
Retakan di Balik Angka: Analisis Kritis
1. Melek huruf ≠ Literasi fungsional
Mari kita jujur: indikator “melek huruf” yang dipakai BPS masih sangat minimalis. Cukup dengan mampu membaca kalimat sederhana dan menulis nama, seseorang sudah dihitung melek huruf. Padahal, literasi sejati menuntut kemampuan membaca untuk memahami, mengolah informasi, dan menulis untuk berkomunikasi secara efektif.
Bukti lapangan menunjukkan banyak lulusan SMA yang masih kesulitan membaca teks panjang dengan kritis atau menulis esai singkat dengan runtut. Artinya, keberhasilan angka melek huruf belum berbanding lurus dengan kualitas literasi.
2. Kesenjangan antarwilayah dan antar generasi
Meski angka provinsi tinggi, di daerah tertentu terutama kawasan pesisir dan pedalaman masih ada kantong-kantong buta huruf. Kelompok paling terdampak adalah masyarakat usia lanjut yang dulu tak tersentuh sekolah formal.
Data BPS Sumbar menunjukkan bahwa sebagian kabupaten masih mencatat buta huruf di kalangan dewasa di atas 2 persen. Angka kecil secara persentase, tetapi berdampak besar pada kehidupan sehari-hari: akses informasi kesehatan, pemahaman program sosial, hingga partisipasi dalam demokrasi.
3. Literasi digital: tantangan yang tak kalah penting
Era 2025 adalah era banjir informasi. Media sosial dan gawai menjadi konsumsi sehari-hari. Namun, literasi digital masyarakat Sumbar belum seimbang dengan penetrasi teknologi. Banyak anak muda bisa mengetik cepat dan aktif di media sosial, tetapi tidak memiliki kemampuan memverifikasi berita atau memilah sumber kredibel.
Hasilnya: hoaks politik, informasi kesehatan palsu, hingga penipuan daring masih mudah menyebar. Inilah tantangan literasi generasi baru yang tak bisa diatasi hanya dengan kemampuan membaca huruf.
4. Hubungan literasi dengan kemiskinan
Studi pembangunan manusia menunjukkan korelasi kuat antara literasi, tingkat pendidikan, dan kemiskinan. Daerah dengan tingkat literasi rendah cenderung memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) lebih rendah dan tingkat kemiskinan lebih tinggi. Ini bukan sekadar soal kemampuan membaca, tetapi tentang akses ekonomi, kesehatan, dan daya saing masyarakat.
Refleksi Akademis: Literasi Sebagai Modal Sosial
Literasi bukan hanya urusan pendidikan formal. Ia adalah modal sosial. Masyarakat yang literat lebih mampu:
- Mengakses informasi kesehatan dengan benar,
- Memanfaatkan layanan perbankan dan teknologi digital,
- Mengembangkan usaha kecil dengan strategi pemasaran modern,
- Berpartisipasi aktif dalam diskusi publik dan demokrasi.
Bila literasi dibiarkan stagnan pada level “melek huruf”, Sumatera Barat akan menghadapi generasi yang sekadar bisa membaca teks, tetapi tak mampu membaca realitas dunia.
Rekomendasi Kebijakan: Dari Seremonial ke Substansial
- Ubah paradigma indikator
Pemerintah daerah perlu mendorong BPS atau lembaga riset pendidikan untuk mengukur literasi fungsional dan digital, bukan sekadar angka melek huruf. - Fokus ke kelompok rentan
Program pemberantasan buta huruf dewasa, terutama di desa-desa terpencil, harus tetap diprioritaskan. Mobile library, rumah baca nagari, dan kelas malam bisa menjadi solusi. - Integrasikan literasi digital dalam kurikulum
Sekolah harus mengajarkan keterampilan memilah informasi, memverifikasi berita, dan etika bermedia sosial sejak dini. - Libatkan masyarakat dan swasta
Literasi bukan hanya tanggung jawab Dinas Pendidikan. Perpustakaan, organisasi masyarakat, lembaga keagamaan, hingga sektor swasta (terutama platform digital) harus dilibatkan. - Transparansi data
Publikasi data literasi per kabupaten/kota secara rutin akan memudahkan masyarakat sipil memantau perkembangan, sekaligus mendorong akuntabilitas anggaran.
Penutup: Jangan Terbuai Angka
Membanggakan memang melihat Sumbar mencapai angka 99,9 persen melek huruf pada generasi muda. Tapi angka hanyalah pintu gerbang, bukan tujuan akhir. Literasi sejati adalah kemampuan membaca dunia, bukan sekadar membaca kata.
Tugas kita bersama — pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan orang tua — adalah memastikan literasi di Sumatera Barat tidak berhenti pada kertas statistik, tetapi tumbuh menjadi budaya berpikir kritis, etis, dan kreatif. Jika tidak, kita akan melahirkan generasi yang “melek huruf” tetapi “buta makna”.
Referensi data:
- BPS, Angka Melek Aksara menurut Umur dan Provinsi (2024)
- BPS, Persentase Buta Huruf Nasional (2023)
- Laporan BPS Sumbar per kabupaten/kota (2024)
- UNESCO, International Literacy Day Factsheet (2025)
Artikel opini ini diterbitkan pertama kali di http://www.kabasurau.co.id