Oleh: Muhammad Okta Ilvan, S.Sos
(Opini – Kabasurau.co.id)

Sepanjang awal 2025, kabar perceraian di Sumatera Barat kembali mencuat. Data Pengadilan Agama Padang mencatat lebih dari 550 perkara perceraian hanya dalam kurun Januari–Maret. Sementara itu, catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat menunjukkan tren peningkatan angka perceraian dari tahun ke tahun di hampir seluruh kabupaten/kota. Fenomena ini seolah menjadi potret nyata rapuhnya fondasi rumah tangga di tengah gempuran krisis ekonomi, perubahan budaya, serta lemahnya ketahanan keluarga.

Apakah ini sekadar angka statistik, atau justru alarm yang memperingatkan kita akan retaknya bangunan sosial masyarakat Minangkabau yang selama ini dikenal religius dan kental dengan ikatan kekerabatan?

Data dan Fakta: Tren Perceraian yang Mengkhawatirkan

Menurut publikasi resmi Badan Pusat Statistik Sumatera Barat (2024), jumlah perkara perceraian yang masuk ke pengadilan agama terus meningkat dari tahun sebelumnya. Meski data final 2025 belum seluruhnya tersedia, laporan Pengadilan Agama Kota Padang menegaskan kecenderungan itu: hanya dalam tiga bulan pertama tahun 2025, terdapat 556 perkara perceraian yang masuk.

Mayoritas pengajuan cerai datang dari pihak istri (cerai gugat), dengan alasan dominan meliputi:

  • Tekanan ekonomi keluarga,
  • Perselisihan rumah tangga akibat komunikasi buruk,
  • Ketidaksetiaan atau pihak ketiga,
  • Beban ganda perempuan yang bekerja sekaligus mengurus rumah tangga.

Jika tren ini berlanjut hingga akhir tahun, angka perceraian di Sumatera Barat berpotensi menembus rekor baru, terutama di wilayah perkotaan seperti Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh.

Membaca Penyebab: Lebih dari Sekadar Angka Statistik

Data hanya menjelaskan apa yang terjadi, namun kita perlu menelisik mengapa. Ada beberapa faktor utama yang mendorong meningkatnya perceraian di Sumbar:

1. Krisis Ekonomi dan Ketidakpastian Pekerjaan

Sumatera Barat masih menghadapi persoalan ketenagakerjaan yang kompleks. Banyak keluarga menggantungkan hidup pada sektor informal dengan penghasilan tidak menentu. Kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan, hingga cicilan rumah semakin menekan. Dalam kondisi ini, konflik rumah tangga kerap dipicu masalah nafkah.

2. Lemahnya Komunikasi dan Edukasi Perkawinan

Banyak pasangan muda menikah tanpa bekal pengetahuan tentang manajemen konflik, pengelolaan keuangan, dan komunikasi sehat. Akibatnya, pertengkaran kecil bisa melebar menjadi alasan perceraian. Padahal, Islam menekankan pentingnya musyawarah dan shabr (kesabaran) dalam menghadapi problem rumah tangga.

3. Perubahan Budaya dan Peran Gender

Dalam budaya Minang, perempuan memegang peran penting dalam rumah gadang dan harta pusaka. Namun realitas modern menuntut mereka juga berkontribusi ekonomi. Tekanan ganda ini, ketika tidak mendapat dukungan pasangan, menjadi pemicu konflik.

4. Minimnya Akses Konseling dan Mediasi

Layanan konseling keluarga masih minim dan cenderung formalistik. Banyak pasangan langsung mengajukan cerai tanpa melewati proses penyelesaian masalah yang lebih humanis. Padahal, peran alim ulama, tokoh adat, dan konselor profesional bisa sangat membantu.

Dampak Sosial Perceraian: Luka yang Tak Selalu Tampak

Perceraian bukan sekadar memutus ikatan suami-istri. Ada dampak sosial yang panjang:

  1. Anak-anak menjadi korban utama. Mereka kehilangan figur lengkap ayah dan ibu, berpotensi mengalami trauma, penurunan prestasi belajar, hingga masalah kepercayaan diri.
  2. Tergerusnya modal sosial masyarakat. Tradisi gotong royong, kekerabatan, dan solidaritas Minangkabau bisa melemah jika rumah tangga banyak yang retak.
  3. Beban ekonomi ganda. Perceraian sering membuat kedua belah pihak jatuh miskin karena harus menanggung hidup sendiri-sendiri.
  4. Meningkatnya problem psikologis. Stres, depresi, dan rasa gagal bukan hal langka di kalangan pasangan bercerai.

Dalam perspektif pembangunan, lonjakan perceraian berarti munculnya generasi rapuh dan beban sosial jangka panjang.

Perspektif Islam: Perceraian Sebagai Jalan Terakhir yang Dibenci

Islam tidak menutup pintu perceraian, tetapi menempatkannya sebagai jalan terakhir juga jalan yang di benci. Allah ﷻ berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 35:

“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya (suami-istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Ayat ini menegaskan pentingnya mediasi keluarga sebelum perceraian ditempuh.

Rasulullah ﷺ pun bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian).” (HR. Abu Dawud).

Pandangan ulama sepakat: perceraian dibolehkan jika tidak ada jalan damai, namun pencegahan, musyawarah, dan kesabaran lebih utama. Artinya, perceraian tidak boleh menjadi solusi instan setiap masalah rumah tangga.

Opini: Mencegah di Hulu, Bukan Menangani di Hilir

Perceraian yang kian meningkat harus dilihat sebagai indikator kegagalan sistemik. Bukan hanya soal lemahnya ketahanan keluarga, tetapi juga lemahnya intervensi negara, lembaga agama, dan komunitas adat.

Solusinya harus komprehensif:

  1. Penguatan Pendidikan Pra-Nikah
    Kursus pra-nikah harus lebih substansial, bukan sekadar formalitas administrasi. Materi harus meliputi manajemen konflik, komunikasi sehat, keuangan keluarga, serta pemahaman hak dan kewajiban menurut Islam.
  2. Pemberdayaan Ekonomi Keluarga
    Pemerintah daerah perlu menargetkan program pemberdayaan ekonomi keluarga rentan. Akses modal usaha mikro, pelatihan keterampilan, dan pendampingan finansial bisa mengurangi konflik nafkah.
  3. Revitalisasi Peran Tokoh Agama dan Adat
    Ulama, ninik mamak, dan cadiak pandai perlu dilibatkan sebagai mediator yang dipercaya masyarakat. Kearifan lokal Minang yang berlandaskan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah harus menjadi pegangan.
  4. Layanan Konseling Terjangkau
    Layanan konseling keluarga harus mudah diakses, dengan pendekatan yang ramah budaya dan religius.
  5. Kampanye Publik tentang Ketahanan Keluarga
    Media massa dan portal Islami dapat berperan menyebarkan narasi positif tentang pernikahan, kesetiaan, dan pengelolaan konflik rumah tangga.

Harapan: Menjaga Rumah Tangga, Menjaga Generasi

Meningkatnya perceraian di Sumatera Barat adalah realitas pahit, tetapi bukan akhir. Ia bisa menjadi momentum refleksi bersama: pemerintah, masyarakat, lembaga agama, dan keluarga.

Ketahanan keluarga bukan sekadar urusan domestik, melainkan urusan peradaban. Jika rumah tangga rapuh, generasi mendatang pun ikut rapuh. Sebaliknya, jika keluarga kokoh, maka bangsa pun kokoh.

Kita tentu berharap Sumatera Barat tetap dikenal bukan hanya karena adat dan budaya yang kuat, tetapi juga karena keluarga-keluarganya yang tangguh, sakinah, mawaddah, dan rahmah sebagaimana doa yang selalu kita panjatkan dalam setiap akad nikah.

Artikel opini ini diterbitkan pertama kali di http://www.kabasurau.co.id