Kabasurau.co.id : Damaskus, 20 Agustus 2025 – Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa menegaskan penolakannya terhadap upaya menciptakan otonomi di dalam negeri, menyusul meningkatnya aksi protes dan kekerasan sektarian dalam beberapa pekan terakhir. Ia menekankan bahwa penyatuan Suriah harus dicapai melalui pemahaman, bukan dengan kekuatan militer.

Berbicara di televisi nasional pada Minggu (18/8), Sharaa merespons tuntutan ratusan demonstran Druze di Provinsi Sweida yang mendesak hak menentukan nasib sendiri bagi kelompok minoritas tersebut.

“Kita masih memiliki satu pertempuran lain untuk menyatukan Suriah, dan itu seharusnya tidak dengan darah dan kekuatan militer. Suriah sudah lelah berperang, dan penyatuan harus dicapai melalui pemahaman,” ujar Sharaa.

Kekerasan Sektarian Memanas
Sejak penggulingan Presiden Bashar al-Assad pada Desember lalu, Sharaa menghadapi kesulitan meredam kekerasan yang melanda berbagai wilayah. Tercatat lebih dari 1.600 orang tewas di Sweida sejak awal Juli akibat bentrokan antara kelompok Druze, suku Badui, dan aparat negara.

Kekerasan juga merebak di Provinsi Latakia, wilayah pesisir yang dihuni komunitas Alawi. Serangan oleh loyalis Assad memicu balasan berdarah, menewaskan sedikitnya 1.500 warga Alawi. Investigasi Reuters menelusuri keterlibatan sejumlah pejabat Damaskus dalam eskalasi tersebut.

Dalam pernyataannya, Sharaa mengakui adanya pelanggaran dari berbagai pihak, termasuk sebagian aparat keamanan dan tentara Suriah. “Negara berkewajiban menindak semua pelaku pelanggaran,” tegasnya.

Tuntutan Politik dan Tekanan Eksternal
Unjuk rasa di Sweida pada Sabtu (17/8) tidak hanya menuntut penggulingan Sharaa, tetapi juga menampilkan simbol provokatif seperti pengibaran bendera Israel. Israel sendiri melakukan serangan udara terhadap pasukan pemerintah bulan lalu dengan alasan melindungi komunitas Druze.

Pemerintah Sharaa saat ini juga tengah bernegosiasi dengan administrasi semi-otonom Kurdi yang menguasai wilayah utara dan timur laut Suriah. Implementasi kesepakatan 10 Maret mengenai integrasi lembaga sipil dan militer masih tertunda akibat perbedaan pandangan, terutama terkait desentralisasi yang ditolak Damaskus.

Kritik Akademisi
Joseph Daher, akademisi Swiss-Suriah dari Universitas Lausanne, menilai pendekatan Sharaa terhadap rekonsiliasi pasca-Assad cenderung membangun rezim baru yang tetap berpusat di tangan pemerintah pusat.

“Sharaa tidak ingin berhadapan dengan aktor politik dan sosial yang terorganisir. Pemerintahnya berupaya memonopoli kekuasaan, tetapi pada saat yang sama masih lemah baik secara militer, finansial, maupun politik,” ujarnya kepada Middle East Eye.

Daher menambahkan, kegagalan mengendalikan situasi di Sweida menunjukkan kontradiksi pemerintahan baru. “Mereka ingin sentralisasi, tetapi tidak memiliki kapasitas untuk menegakkannya secara efektif,” katanya. (DL/GPT)

Sumber : Middle East Eye | Weblink : https://www.middleeasteye.net/news/syrian-president-says-country-should-not-be-unified-blood

Redaktur : Hermanto Deli | Indonesian Islamic News Agency (IINA)