Oleh: Depitriadi, S.IP
Jurnalis dan Political Enthusiast, berdomisili di Lubuk Basung
(Opini – Kabasurau.co.id)
Lubuk Basung sudah 32 tahun menjadi ibukota Kabupaten Agam. Di kota ini berdiri kantor bupati, DPRD, hingga berbagai organisasi perangkat daerah (OPD). Secara administrasi, keberadaan ibukota sudah lengkap. Namun, ada satu hal yang absen: perguruan tinggi.
Hingga kini, Lubuk Basung tidak memiliki universitas negeri maupun swasta yang benar-benar mampu menjadi magnet pendidikan. Kampus besar tidak ada, bahkan perguruan tinggi swasta yang berdaya saing pun nihil. Pilihan yang tersedia hanyalah kuliah daring, yang tentu tidak sepadan dengan kehadiran kampus fisik.
Akibat ketiadaan perguruan tinggi, setiap tahun arus mahasiswa mengalir keluar daerah. Mereka melanjutkan studi ke Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, hingga ke Pulau Jawa. Sebagian memang kembali setelah lulus, namun banyak juga yang menetap di perantauan. Kondisi ini melahirkan fenomena brain drain: sumber daya manusia terbaik pergi, dan tidak sedikit yang enggan kembali.
Data sederhana dapat memberikan gambaran nyata. Jumlah penduduk Lubuk Basung pada semester II tahun 2024 mencapai 85 ribu jiwa. Dengan persentase usia kuliah sekitar 8–10 persen, terdapat 7.000 hingga 8.500 anak muda yang seharusnya melanjutkan pendidikan tinggi. Mengacu pada Angka Partisipasi Kasar (APK) nasional sebesar 31 persen, sekitar 2.500 hingga 3.000 anak muda asal Lubuk Basung sedang menempuh kuliah. Namun, hampir semuanya belajar di luar daerah.
Dari sisi ekonomi, kondisi ini menimbulkan kebocoran. Jika biaya hidup mahasiswa rata-rata Rp1 juta per bulan, maka setidaknya Rp2,5 hingga Rp3 miliar mengalir keluar Lubuk Basung setiap tahun. Dana itu menghidupi kos-kosan, warung makan, dan laundry di Padang atau Bukittinggi. Sementara di Lubuk Basung, potensi ekonomi tersebut hilang.
Seandainya ada kampus di sini, uang itu akan berputar di warung nasi lokal, kos-kosan, hingga usaha kecil masyarakat. Kampus tidak hanya melahirkan intelektual, tetapi juga membangun ekosistem ekonomi baru. Mahasiswa adalah mesin penggerak ekonomi yang hingga kini tidak dimiliki Lubuk Basung.
Pertanyaannya, mengapa kampus belum hadir? Jawaban klasik sering terdengar: keterbatasan anggaran. Padahal, pembangunan perguruan tinggi tidak harus menunggu APBD. Ada mekanisme lain seperti yayasan, corporate social responsibility (CSR), hingga membuka cabang perguruan tinggi negeri. Syarat utamanya adalah adanya badan hukum, lahan, dosen, kurikulum, dan akreditasi. Semua itu bukan hal mustahil jika ada kemauan politik.
Sayangnya, kemauan itulah yang langka. Pemerintah daerah tampak lebih fokus membangun infrastruktur fisik: jalan, jembatan, dan irigasi. Infrastruktur memang penting, tetapi sebuah daerah tidak bisa hidup dengan jalan saja tanpa “jalan pikiran”.
Kita bisa mencontoh daerah lain. Payakumbuh memiliki Politeknik Negeri, Padang Panjang memiliki ISI, sementara Lubuk Basung hanya memiliki kantor pemerintahan. Padahal, dari sisi jumlah penduduk dan demografi, kondisi ketiga daerah ini tidak jauh berbeda.
Kampus juga melahirkan atmosfer intelektual. Seminar, penelitian, dan diskusi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Tanpa kampus, Lubuk Basung kehilangan denyut intelektual itu. Bandingkan dengan Yogyakarta, Bandung, atau Malang yang hidup karena ekosistem pendidikan tinggi, meski skala perbandingan berbeda.
Lalu, siapa yang harus memulai? Jawabannya: semua pihak. Pemerintah bisa menjadi fasilitator. Perantau dapat berperan sebagai investor, sementara dunia usaha ikut mendukung. Perantau selama ini terbukti membangun masjid, fasilitas olahraga, hingga gedung-gedung. Maka, mengapa tidak membangun kampus?
Jika lahan hibah sudah ada, regulasi bisa segera ditempuh. Pemerintah daerah bisa menggandeng universitas negeri untuk membuka cabang di Lubuk Basung. Dimulai dengan politeknik atau sekolah tinggi, lalu berkembang bertahap menjadi universitas.
Kehadiran kampus di Lubuk Basung bukan sekadar proyek, tetapi investasi jangka panjang. Kampus akan mengurangi kebocoran ekonomi, menumbuhkan inovasi, serta menjaga agar generasi muda tetap berkarya di daerahnya sendiri.
Jika tidak, Lubuk Basung akan terus menjadi ibukota administratif semata. Gedung-gedung megah berdiri, tetapi tanpa atmosfer intelektual. Anak muda tetap pergi merantau, sebagian enggan pulang, dan ekonomi lokal hanya menjadi penonton.
Kampus adalah investasi masa depan. Bukan sekadar membangun gedung, melainkan membangun peradaban. Jika Lubuk Basung ingin lebih dari sekadar kota kantor, maka jawabannya jelas: hadirkan kampus.
Data dari Artikel ini pertama kali tayang di kaba12.co.id dan di redaksi ulang di kabasurau.co.id