Oleh: Muhammad Okta Ilvan, S.Sos
Admin dan Pewarta Kabasurau.co.id, Berdomisili di Kota Padang
(Opini – Kabasurau.co.id)


Pendidikan di Sumatera Barat saat ini berada pada sebuah persimpangan penting. Di satu sisi, ada upaya serius memperkuat identitas dan kearifan lokal sebagai modal budaya pembelajaran. Namun, di sisi lain, Sumbar masih bergelut dengan tantangan mutu, akses, dan kesenjangan capaian belajar.

Pengukuhan Dewan Pendidikan Provinsi Sumatera Barat periode 2025–2030 serta berbagai program transformasi mutu dari Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) menunjukkan adanya langkah positif. Pemerintah mencoba menyelaraskan kualitas akademik dengan budaya Minangkabau, sehingga pembelajaran tidak tercerabut dari akar sosial masyarakatnya.

Langkah ini patut diapresiasi, karena relevansi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari diyakini mampu meningkatkan motivasi siswa. Namun, kebijakan ini tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan peningkatan kapasitas guru, kurikulum kontekstual, serta monitoring mutu yang berbasis data nyata.

Meski kebijakan pendidikan semakin terstruktur, persoalan putus sekolah masih menghantui beberapa daerah di Sumbar. Faktor ekonomi, jarak, hingga kondisi sosial membuat anak-anak meninggalkan bangku sekolah lebih dini. Tahun 2025 menjadi momentum penting, di mana pemerintah daerah mulai melakukan pemetaan anak tidak sekolah.

Namun, tanpa intervensi konkret berupa bantuan ekonomi, pendampingan psikososial, dan program bridging untuk mengembalikan anak ke sekolah, persoalan ini berisiko tetap menjadi lingkaran masalah tahunan.

Isu lain yang tidak kalah penting adalah capaian literasi dan numerasi. Hasil Asesmen Nasional dan evaluasi pendidikan memperlihatkan bahwa kompetensi dasar siswa masih perlu penguatan. Sosialisasi dan pelatihan yang dilakukan memang penting, tetapi perubahan nyata baru akan terjadi jika praktik pembelajaran bergeser: dari sekadar transfer pengetahuan menjadi pembelajaran aktif, kritis, dan kontekstual.

Kepala sekolah dan pengawas pendidikan perlu mengambil peran lebih besar dalam memastikan pembelajaran di kelas benar-benar berkualitas, bukan sekadar memenuhi administrasi.

Aspek teknis manajemen pendidikan, seperti Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan kalender akademik 2025, juga mengalami pembaruan. Hal ini membuka ruang bagi transparansi dan keadilan dalam distribusi layanan pendidikan. Namun, tanpa komunikasi publik yang jelas, kebijakan tersebut justru bisa memunculkan kebingungan di kalangan orang tua dan masyarakat.

Ada beberapa langkah yang mendesak dilakukan:

  1. Menurunkan angka putus sekolah melalui program penjangkauan terintegrasi dengan dukungan lintas sektor.
  2. Menguatkan kompetensi guru pada literasi, numerasi, dan pedagogi berbasis kearifan lokal.
  3. Memanfaatkan data Asesmen Nasional sebagai dasar penyusunan rencana remedial di sekolah.
  4. Menerapkan kebijakan inklusif pada PPDB dengan kuota khusus bagi keluarga rentan.
  5. Mengonsolidasikan kearifan lokal dengan standar pendidikan nasional agar siswa unggul secara akademik sekaligus berkarakter.

Sumatera Barat punya modal budaya dan komitmen kelembagaan untuk membangun pendidikan yang maju. Namun, kunci suksesnya ada pada implementasi: menekan angka putus sekolah, meningkatkan literasi-numerasi, serta menjadikan guru dan kepala sekolah sebagai motor utama perubahan.

Jika kebijakan yang baik berpadu dengan pendanaan tepat, pemanfaatan data yang cerdas, serta dukungan masyarakat luas, maka Sumatera Barat berpeluang menjadi contoh provinsi yang berhasil menyatukan kearifan lokal dengan mutu pendidikan nasional

Artikel opini ini diterbitkan pertama kali di http://www.kabasurau.co.id