Melepaskan bukan perkara mudah. Ada kalanya kenangan menahan langkah, seolah-olah akar yang menjalar dalam dada. Semakin ditolak, semakin ia tumbuh liar, menghimpit ruang hati. Kita berusaha mengabaikan, tapi yang hadir justru bayangan yang semakin kuat. Pada titik inilah doa lirih seorang hamba terucap: “Tuhan, izinkan aku melepaskan.”

Doa itu bukan sekadar keluh, melainkan pengakuan jujur tentang kelemahan. Hati manusia memang rapuh. Apa yang dianggap sebagai milik, sewaktu-waktu bisa diambil. Apa yang disangka abadi, ternyata hanya singgah sementara.

Luka yang Mengakar

“Aku sudah mencoba mengabaikan,
tapi semakin kuingkari, semakin hatiku terbenam.
Aku tahu takdir-Mu tak pernah kelam,
tapi mengapa kehilangan terasa seperti malam tanpa rembulan?”

Kehilangan sering terasa seperti malam tanpa cahaya. Gelap, sunyi, dan menakutkan. Bagi sebagian orang, kehilangan cinta, sahabat, keluarga, atau harapan, meninggalkan luka yang mengakar dalam. Luka itu tidak hanya mengisi ruang batin, tetapi juga memengaruhi cara kita melihat hidup.

Namun, Islam mengajarkan bahwa tidak ada satu pun rasa sakit yang sia-sia. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidaklah seorang muslim ditimpa suatu musibah, meski hanya duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus sebagian dosa-dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini memberi sudut pandang baru: bahwa kehilangan bukan sekadar akhir, melainkan proses penyucian.

Menunggu Ombak yang Tak Datang

“Tuhan, aku lelah menjadi nelayan yang menunggu kepastian.
Aku masih berdiri di tepian, berharap ombak membawakan jawaban,
tapi yang datang hanya kesunyian.”

Betapa sering kita menunggu sesuatu yang tidak pasti, berpegang pada harapan yang justru melukai. Kita menanti jawaban dari manusia, padahal hakikat kepastian hanya milik Allah. Allah ﷻ berfirman:

وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ
“Dan pada sisi-Nya kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia.” (QS. Al-An‘am: 59)

Ayat ini menegaskan bahwa kepastian bukan pada jawaban mahkluk yang kita tunggu, melainkan pada Allah ﷻ yang mengatur segalanya.

Tidak Semua yang Datang Harus Bertahan

Hidup mengajarkan bahwa tidak semua yang hadir akan menetap. Ada yang datang sebagai nikmat, ada pula yang datang sebagai pelajaran.

“Aku ingin percaya bahwa tak semua yang datang harus bertahan.
Bahwa ada cinta yang Kau hadirkan hanya untuk menjadi ingatan.”

Inilah esensi dari qadar (takdir). Kita menerima bahwa ada pertemuan yang hanya untuk sementara. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Jangan engkau bersedih atas sesuatu yang Allah ambil darimu. Jika ia memang ditakdirkan untukmu, ia tidak akan pergi. Jika ia tidak ditakdirkan untukmu, engkau tidak akan mampu menahannya.”

Kata-kata ini menjadi pengingat: tugas kita bukan menggenggam sekuat tenaga, melainkan merelakan apa pun yang Allah tetapkan.

Melepaskan: Antara Doa dan Ikhlas

Melepaskan bukan berarti melupakan, melainkan menata ulang cara kita memandang sesuatu

“Tuhan, jika melepaskan seperti angin
yang membawa layang-layang ke ketinggian,
maka kuatkan tanganku
untuk merelakan benang yang masih kusimpan.”

Melepaskan adalah keberanian untuk membiarkan sesuatu pergi dengan tenang, sambil percaya bahwa Allah sudah menyiapkan pengganti yang lebih baik. Firman Allah menguatkan:

وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Ayat ini memberi cahaya di tengah kegelapan kehilangan. Apa yang terasa pahit hari ini, kelak bisa menjadi manis dalam rencana Allah.

“Jika kehilangan ini adalah caramu mengosongkan genggaman,
maka ajari aku menerima dengan keikhlasan.
Jika perpisahan ini adalah jalan,
maka tuntun aku agar tak salah melangkah di persimpangan.”

Hidup memang penuh persimpangan. Kita kerap bimbang: apakah melangkah maju, atau menoleh ke belakang? Doa ini mengajarkan bahwa ikhlas bukan berarti tidak merasakan sakit, tetapi menerima bahwa ada jalan lain yang Allah siapkan.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

“Apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barang siapa ridha, maka Allah meridhainya. Barang siapa murka, maka Allah murkainya.” (HR. Tirmidzi)

Maka, melepaskan adalah ujian cinta. Ridha menjadi tanda bahwa kita benar-benar mempercayai Allah lebih daripada harapan kita pada manusia.

Penutup: Dari Patah Menuju Utuh

Melepaskan adalah seni jiwa. Ia tidak terjadi dalam sehari, melainkan proses yang berulang. Terkadang kita masih menoleh, terkadang masih tergoda untuk menggenggam kembali. Tetapi doa yang jujur “Tuhan, izinkan aku melepaskan” adalah langkah pertama menuju keutuhan.

Melepaskan bukan berarti kehilangan. Justru dengan melepaskan, kita membuka ruang baru di hati untuk menerima rahmat Allah yang lebih luas. Seperti pepatah ulama: “Setiap kali Allah mengambil sesuatu darimu, Dia sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik sebagai gantinya.”

Maka, jangan takut pada kehilangan. Karena pada akhirnya, setiap patah hanyalah jalan menuju utuh yang Allah janjikan.

“Jika hari ini kita belajar merelakan, esok Allah akan ajarkan kita bagaimana rasanya tenang.”

Artikel ini diterbitkan pertama kali di http://www.kabasurau.co.id