Makan Bergizi Gratis: Antara Janji Sehat dan Tragedi Keracunan

18

Oleh: Muhammad okta ilvan
(Opini — Kabasurau.co.id)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi Kabasurau.co.id

Program ambisius Makan Bergizi Gratis menelan anggaran raksasa. Namun di lapangan, alih-alih menyehatkan, malah melahirkan gelombang keracunan massal anak sekolah. Saatnya pemerintah berbenah sebelum lebih banyak nyawa jadi taruhan.


Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program unggulan pemerintah yang dijanjikan mampu mengatasi masalah gizi, mengurangi stunting, dan meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia. Dengan jargon “satu piring sehat untuk setiap murid”, pemerintah menggelontorkan anggaran sangat besar: Rp71 triliun untuk tahap awal pada 2025, dan diproyeksikan meningkat hingga Rp335 triliun pada 2026. Namun, implementasi di lapangan menghadirkan paradoks: program yang semestinya membawa manfaat kesehatan justru memicu tragedi keracunan massal.


Tragedi di Agam, Potret Buram Nasional

Kasus keracunan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, menjadi salah satu gambaran paling jelas tentang rapuhnya pelaksanaan program ini. Pada 1–2 Oktober 2025, lebih dari 110 siswa dari TK, SD hingga SMP harus dilarikan ke rumah sakit setelah menyantap menu MBG berupa nasi goreng. Gejala yang dialami hampir seragam: mual, muntah, sakit kepala, hingga pusing. Pihak pemerintah daerah segera menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).

Bupati Agam, Bapak Benni Warlis, dalam pernyataannya di Gubernuran Sumbar, menegaskan bahwa seluruh biaya pengobatan korban ditanggung Pemkab. Namun ia juga mengakui jumlah korban terus bertambah dari waktu ke waktu. “Kami terus mentracking semua penerima makanan, agar tidak ada satu pun korban yang luput dari penanganan,” ujarnya. Kasus ini menyorot lemahnya sistem pengawasan, sebab makanan yang seharusnya meningkatkan gizi justru menjerumuskan anak-anak ke ruang gawat darurat.


Angka yang Mengkhawatirkan

Insiden Agam hanyalah satu dari rangkaian panjang kasus keracunan MBG yang sudah terjadi di berbagai daerah. Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat sepanjang 2025 sudah ada puluhan kejadian serupa dengan total korban mencapai lebih dari 6.000 orang. Korban bukan hanya siswa TK dan SD, tetapi juga guru, orang tua, bahkan masyarakat sekitar yang ikut mengonsumsi. Sebaran korban di berbagai provinsi menunjukkan bahwa masalah ini bukan insiden tunggal atau kelalaian lokal, melainkan kegagalan sistemik dalam tata kelola program.


Infografik: Data Kasus Keracunan MBG 2025

Lokasi Tanggal Kejadian Jumlah Korban Status Penanganan Catatan
Agam, Sumbar 1–2 Okt 2025 110 orang 41 dirawat, 67 pulang Status KLB, menu nasi goreng
Bekasi, Jabar 15 Sep 2025 320 orang Mayoritas siswa SD Dugaan bakteri Salmonella
Sidoarjo, Jatim 5 Sep 2025 480 orang 120 dirawat, 360 rawat jalan Kontaminasi bakteri Bacillus cereus
Bima, NTB 21 Ags 2025 275 orang 90 dirawat, sisanya pulang Diduga bahan baku nasi basi
Padang, Sumbar 10 Jul 2025 95 orang Sebagian besar pulih Kasus pertama di Sumbar
Total Nasional Jan–Sep 2025 ± 6.000 orang 1.200 sempat dirawat di RS, sisanya pulang Data BGN per September 2025

Akar Masalah: Higienitas dan Tata Kelola

Hasil pemeriksaan laboratorium dari berbagai kasus menunjukkan adanya kontaminasi makanan oleh bakteri berbahaya seperti Salmonella, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, hingga E. coli. Jenis bakteri ini umumnya muncul akibat proses produksi yang tidak higienis, bahan baku yang tidak segar, dapur yang tidak memenuhi standar, atau rantai distribusi yang tidak terjaga suhu dan kebersihannya.

Sejumlah ahli pangan menilai bahwa pemerintah terburu-buru memaksakan program ini secara nasional tanpa menyiapkan infrastruktur dasar. Ribuan dapur penyedia makanan digerakkan secara serentak, tetapi tidak semua memiliki sertifikasi higienitas, tenaga ahli gizi, ataupun pengawasan ketat. Bahkan di banyak daerah, dapur pengolahan masih berupa rumah tangga biasa yang tidak memenuhi standar keamanan pangan.


Kegagalan Sistemik, Bukan Kebetulan

Dengan ratusan hingga ribuan siswa jatuh sakit, sulit menyebut kasus keracunan MBG sebagai “kecelakaan” semata. Ini adalah indikasi kegagalan sistemik dalam desain dan pengawasan program. Dengan anggaran ratusan triliun rupiah, seharusnya pemerintah memiliki standar baku yang sangat ketat, semisal penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), audit rutin, serta inspeksi mendadak secara acak.

Namun yang terjadi justru sebaliknya: program berjalan dengan gegap gempita politis, sementara instrumen teknis diabaikan. Banyak dapur yang bekerja tanpa pengawasan langsung, pengadaan bahan dilakukan tanpa verifikasi ketat, dan distribusi makanan tidak selalu diawasi. Akibatnya, risiko keracunan menjadi sesuatu yang “normal” di banyak daerah.


Jalan Perbaikan

Pemerintah tidak boleh menutup mata. Ada beberapa langkah mendesak yang harus segera dilakukan agar program MBG tidak terus menjadi bencana kesehatan massal:

  1. Moratorium parsial — Hentikan sementara seluruh dapur penyedia MBG yang belum memiliki standar higienitas jelas. Program bisa dilanjutkan hanya di daerah yang terbukti siap.

  2. Audit independen — Lakukan audit menyeluruh terhadap rantai suplai MBG, mulai dari bahan baku, dapur produksi, hingga distribusi. Audit ini harus dilakukan lembaga independen dan hasilnya diumumkan ke publik.

  3. Penguatan laboratorium daerah — Setiap daerah harus memiliki fasilitas uji cepat untuk mendeteksi bakteri berbahaya, agar kasus keracunan bisa dicegah sebelum makanan dibagikan ke sekolah.

  4. Akuntabilitas hukum — Pihak yang lalai, baik penyedia jasa dapur maupun pejabat pengawas, harus dikenai sanksi tegas. Jika terbukti ada kelalaian serius, proses hukum harus dijalankan.

  5. Keterlibatan komunitas — Sekolah, guru, dan orang tua harus diberi ruang untuk ikut mengawasi. Jika dapur tidak bersertifikasi atau menyalahi aturan, masyarakat harus berhak menolak makanan tersebut.


Penutup

Program MBG pada dasarnya lahir dari niat mulia: memastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan bebas stunting. Namun, niat baik tanpa tata kelola yang matang justru berubah menjadi malapetaka. Gelombang keracunan massal adalah alarm keras bagi pemerintah bahwa pendekatan “jalan cepat” tidak bisa diterapkan untuk urusan yang menyangkut nyawa anak-anak.

Pemerintah harus berani mengevaluasi, menghentikan sementara jika perlu, dan membangun sistem yang lebih kuat sebelum melanjutkan program ini. Keselamatan anak-anak bangsa jauh lebih penting daripada sekadar memenuhi target politik.


Artikel ini pertama kali diterbitkan di www.kabasurau.co.id