Adab Guru

Adab Guru terhadap dirinya, terdiri dari 12 Bagian :

Bagian Pertama : selalu merasa diawasi oleh Allah ta’ala tatkala sendirian dan bersama orang lain.

Selalu menjaga rasa takut kepada Allah di setiap perbuatan dan aktifitasnya,dan termasuk di setiap perkataan dan perbuatannya. Inilah Ihsan, yaitu engkau beribadah kepada Allah ta’ala seakan-akan engkau melihat Allah, apabila engkau tidak melihat Allah (memang sangat mustahil bagi hamba Allah di dunia ini untuk bisa melihat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Melihat kita, maka sesungguhnya hamba tersebut telah diberikan amanah (kepercayaan) dari ilmu, dari rasa (panca indra) dan pehaman itu merupakan keberkahan dari Allah yang telah Allah berikan. Allah ta’la berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ – ٢٧

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S. Al Anfal 27)

Dan firman Allah ta’la :

اِنَّآ اَنْزَلْنَا التَّوْرٰىةَ فِيْهَا هُدًى وَّنُوْرٌۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّوْنَ الَّذِيْنَ اَسْلَمُوْا لِلَّذِيْنَ هَادُوْا وَالرَّبَّانِيُّوْنَ وَالْاَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوْا مِنْ كِتٰبِ اللّٰهِ وَكَانُوْا عَلَيْهِ شُهَدَاۤءَۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗوَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ – ٤٤

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah:44)

Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata, yakni “Ilmu itu bukanlah yang dihafalkan,akan tetapi ilmu itu yang bermanfaat”.

Dan hendaknya kita menyadari, bahwasannya ada sebagian orang yang telah belajar, akan tetapi setelah belajar ia kembali kepada adat atau kebiasaannya. Dan yang menjadi pertanyaan apakah ilmu itu sudah ia hafal dan ia amalkan setelah mempelajarinya ? karena Ilmu itu didapat dengan petunjuk dan agama yang benar (amalan sholeh)

Dan dari ilmu itu akan selalu mendatangkan ketenangan, kewibawaan, kekhusyukan dan sikap wara’ yang nantinya akan menimbulkan sikap merendahkan diri kepada Allah.

Imam Malik rahimahullah pernah menuliskan sebuah pesan kepada Harun Arrasyid: “jika engkau telah diberikan Ilmu maka hendaklah ada pengaruh atau bekas dari ilmu tersebut.”

Yaitu di dalam ilmunya terdapat ketenangan dan kelemahan-lembutan. Dan di dalam sebuah hadist Nabi Shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, “Para ulama itu pewaris para nabi”.

Dalam sebuah riwayat yang lain, Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata, “pelajarilah Ilmu dan beramal lah dengan nya, karena didalamnya terdapat ketenangan dan kewibawaan.”

Salah seorang Salaf pernah berkata, “Hak dari seorang yang berilmu adalah merendahkan diri kepada Allah, baik di waktu sendirinya maupun di tengah orang banyak, dan menjaga dirinya dan berhenti sejenak ketika ada masalah (untuk mencari solusi).

Bagian Kedua: hendaknya ia menjaga dan memelihara ilmu tersebut sebagaimana dulu para ulama salaf menjaganya, dan hendaknya ia menegakkan ilmu tersebut sebagaimana Allah ta’ala telah menjaga kewibaan dan kemuliaan Ilmu.

Dan janganlah ia menghilangkan kewibawaan ilmu dengan mempelari ilmu dari para pecinta dan hamba dunia, kecuali dalam keadaan darurat atau dibutuhkan. Dan jangan pula ia menghilangkan kewibawan ilmu  dengan mendatangi orang yang akan mempelajari ilmu, meskipun orang yang akan di ajarkannya tersebut adalah orang yang memiliki kedudukan tinggi.

Salah seorang ulama, bernama Imam Azzuhri pernah berkata, “Hinaan terhadap ilmu ialah seorang yang berilmu mendatangi orang yang mau belajar (privat belajar agama).

Dan perkataan ulama salaf terkait hal ini ada banyak sekali.

Maka tidak pantas sekiranya seorang ‘alim (yang memiliki Ilmu agama) pergi untuk mendatangi rumah bagi orang yang ingin belajar darinya, karena hal tersebut dapat merendahkan kedudukan ilmu.

Dan bolehnya seorang yang ‘alim untuk mendatanginya dalam rangka memberikan pelajaran apabila di dalamya terdapat mashlahat agama dan kecilnya mafsadat (kerusakannya) dan dengan diiringi niat yang baik. Maka hal ini diperbolehkan seperti mendatangi para raja, penguasa, dan pemimpin. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Imam Zuhri, Imam Syafi’i dan yang lainnya, hal ini diperbolehkan karena bukan untuk kepentingan dunia yang ingin didapatkannya.

Dan termasuk yang diperbolehkan untuk didatangi yaitu orang yang memiliki keilmuan dan kezuhudan yang lebih dari dirinya untuk mengambil ilmu dan faedah darinya. Sebagaimana yang tpernah dilakukan oleh Sufyan ats-tsauri yang mendatangi Ibrahim bin Adham dan ia mendapati faedah darinya. Dan juga Abu Ubaid (pakar bahasa) berjalan ke Ali bin ‘Ali madini (pakar hadist) untuk mendengarkan hadist-hadist ghorib.

===========================

Di syarh dari Kitab Ta’lim tadzkirah Assami’ wal Mutakallim Fii Adabil ‘Alim wal Muta’allim bersama Buya Muhammad Elvi syam Lc. MA. Bab kedua : Adab seorang ‘alim (berilmu) didalam dirinya sendiri dan mengawasi muridnya dan pelajarannya. Kajian Hari Ahad, 17 Oktober 2021 di Masjid Al-Hakim.
Ditulis: Rahmat Ridho S.Ag | Editor: Muhammad Reza Pahlevi