Mengikhlaskan Niat, Perbuatan dan Ucapan, Hadits 5 dan 6

Syarah Riyadhus sholihin
Bab 1 : Ikhlas dan Menghadirkan Niat Dalam Setiap Perbuatan dan Ucapan

Hadits No. 5


٥ – وَعَنْ أَبِيْ يَزِيدَ مَعْنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ الْأَخْنَسِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَهُوَ وَأَبُوهُ وَجَدُهُ صَحَابِيُّونَ – قَالَ: كَانَ أَبِيْ يَزِيْدُ أَخْرَجَ دَنَا نِيرَ يَتَصَدَّقُ بِهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ فِي الْمَسْجِدِ فَجِئْتُ فَأَخَذْتُهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا، فَقَالَ: وَاللَّهِ مَا إِيَّاكَ أَرَدْتُ، فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ فَقَالَ: ((لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ، وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ)).
(رواه البخاري)

5. Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin al-Akhnas-dia (Ma’an), bapaknya (Yazid), dan kakeknya (al-Akhnas) termasuk Sahabat Nabi ﷺ, ia menuturkan: “Ayahku, Yazid, pernah mengeluarkan beberapa dinar untuk disedekahkan. Beliau mempercayakan uang itu kepada seseorang yang berada di masjid (yakni untuk dibagi-bagikan).

Lantas aku datang (ke masjid tadi) dan mengambil uang itu. Kemudian aku datang ke tempat ayahku dengan membawa dinar tersebut. Setelah melihatnya, ayahku pun berseru: ‘Demi Allah, bukan kamu yang aku tuju (untuk menerima sedekah ini)!”

Selanjutnya, aku menyampaikan kejadian tadi kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau ﷺ bersabda: ‘Bagimu apa yang telah kamu niatkan, hai Yazid. Dan bagimu apa yang telah kamu ambil, hai Ma’an.”” (HR. Al-Bukhari).

Kandungan Hadits


1. Mengisyaratkan bolehnya berbicara tentang berbagai karunia Allah ﷻ serta berbincang tentang nikmat-nikmat-Nya.

2. Tidak mengapa mewakilkan pembagian sedekah kepada orang lain. Terutama sedekah tathawwn’ (yang bersifat sukarela), karena dalam sedekah yang demikian terdapat kerahasiaan amal.

3. Diperbolehkan mengerjakan suatu amalan yang redaksi perintah nashnya bersifat mutlaq (tidak terikat), yakni mengamalkan dalil itu sesuai dengan kemutlakan atau keumuman cakupannya. Memang tidak tertutup kemungkinan terjadi kesalahpahaman bagi orang yang memutlakkan redaksi tersebut, yaitu tebersit dalam hatinya sesuatu yang tidak mutlak, namun hal ini dapat dihindari dengan penjelasan terhadap hakikatnya.

4. Boleh berhukum (beperkara) antara ayah dan anak, dan hal tersebut tidak dikategorikan sebagai kedurhakaan.

5. Diperbolehkan menyerahkan sedekah tathawwu” kepada furu” (yakni anak, cucu, dan keturunannya).

6. Seseorang yang bersedekah akan memperoleh pahala sesuai dengan niatnya, baik sedekah itu sampai kepada orang yang berhak menerima ataupun kepada orang yang tidak berhak menerimanya.

7. Seorang ayah tidak diperkenankan menarik kembali sedekah yang telah diberikan kepada anaknya. Hukum syar’i dalam hal ini berbeda dengan pemberian yang berupa hibah.

Baca juga: Menghormati dan Memenuhi Hak Sesama Muslim: Pelajaran dari Riyadhus Shalihin


Hadits No. 6


1 – وَعَنْ أَبِي إِسْحَاقَ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ مَالِكِ بْنِ أَهَيْبِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ زُهْرَةَ بْنِ كِلَابِ بْنِ مُرَّةَ بنِ كَعْبِ بْنِ لُؤي الْقُرَشِيَ الزُّهْرِي رَوَاهُ عَنهُ أَحَدٍ الْعَشَرَةَ الْمَشْهُودِ لَهُمْ بِالْجَنَّةِ وَ اين عناو قَالَ: جَاءَ فِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُوْدُنِي عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعِ اشْتَدَّ بِيْ، فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي قَدْ بَلَغَ بِيْ مِنَ الْوَجَعِ مَا تَرَى وَأَنَا ذُوْ مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثْلُقَيْ مَالِي؟ قَالَ: ((لا))، قُلْتُ: فَالشَّطْرُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: ((لَا))، قُلْتُ: فَالقُلْتُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: ((القُلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرُ – أَوْ كَبِيرُ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ، وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ))، قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أُخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِيْ؟ قَالَ: ((إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلًا تَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً، وَلَعَلَّكَ أَنْ تُخَلَّفَ حَتَّى يَنْتَفِعَ بك أَقْوَامُ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ اللَّهُمَّ أَمْضِ لِأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ وَلَا تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، لكن الْبَائِسُ سَعْدُ بْنُ خَوْلَةَ)). يَرْني لَهُ رَسُولُ اللهِ صَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَاتَ بِمَكَّةَ. (متفق عليه).


6. Dari Abu Ishaq Sa’ad bin Abi Waqqash Malik bin Uhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay al-Qurasyiyyi az-Zuhri, salah seorang di antara sepuluh Sahabat yang dijamin masuk Surga, ia bercerita; Rasulullah datang menjengukku ketika aku sakit keras pada tahun haji Wada.

Kemudian aku bertanya: “Wahai Rasulullah, sakitku ini sangat keras (kronis) sebagaimana engkau menyaksikannya sendiri. Sementara aku mempunyai harta yang cukup banyak, dan tidak ada seorang pun yang menjadi ahli warisku selain anak perempuanku.

Bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?” Beliau menjawab: “Tidak boleh.” Aku kembali bertanya: “Bagaimana jika setengahnya, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab: “Tidak boleh.” Lalu kutanyakan lagi: “Bagaimana jika sepertiga, wahai Rasulullah?” Beliau pun menjawab: “Ya, sepertiga (boleh); dan sepertiga itu sudah banyak-atau sudah besar. Sesungguhnya apabila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, maka itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada manusia.

Sungguh, tidaklah kamu menafkahkan hartamu dengan mengharapkan keridhaan Allah melainkan kamu akan diberi pahala karenanya, bahkan pada apa yang kamu suapkan ke mulut istrimu.”

Sa’ad pun melanjutkan; Kemudian aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah aku akan ditinggalkan (di kota Makkah ini) setelah kepergian sahabat-sahabatku darinya?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya tidaklah kamu ditinggalkan lalu kamu suatu amalan yang kamu niatkan karena mencari ridha Allah, melainkan dengannya derajat dan ketinggianmu akan bertambah.

Barangkali umurmu akan dipanjangkan sehingga orang-orang dapat mengambil manfaat darimu, di samping ada juga orang-orang lain akan merasa dirugikan olehmu. Ya Allah, yang biarkanlah hijrah Sahabat-Sahabatku terus berlangsung, dan janganlah Engkau mengembalikan mereka ke tempat semula. Tetapi yang kasihan adalah Sa’ad bin Khaulah.”

Rasulullah menyayangkan meninggalnya dia (Sa’ad bin Khaulah) di Makkah. (Muttafaq ‘alaih)

Kandungan Hadits


1. Disyariatkan menjenguk orang sakit bagi pemimpin dan bawahan, terutama pada saat seseorang sedang sakit keras.

2. Dibolehkan memberitahukan penyakit yang diderita dengan tujuan yang benar, misalnya untuk meminta obat atau doa dari orang yang shalih tanpa disertai keluhan dan sikap tidak ridha, dan hal ini tidak bertentangan dengan kesabaran yang baik.

3. Boleh meletakkan tangan di dahi orang yang sedang sakit, termasuk mengusap wajahnya serta mengusap bagian tubuhnya yang sakit,seraya mendoakan agar dia diberi umur panjang.

4. Pahala berinfak tergantung pada kebenaran niat dan pengharapan terhadap keridhaan Allah ﷻ.

5. Dibolehkan mengumpulkan harta, akan tetapi dengan syarat harta tersebut diperoleh secara halal. Harta tersebut tidak digolongkan sebagai harta simpanan jika hak (zakat)nya telah ditunaikan.

6. Wasiat (yang berupa harta) tidak boleh lebih dari sepertiga.

7. Memberi nafkah kepada keluarga mengandung pahala tersendiri, jika pemberiannya dimaksudkan untuk mencari keridhaan Allah ﷻ.

8. Berbagai kebaikan dan ketaatan yang tidak bisa dikerjakan bisa diganti dengan amal lainnya, yaitu dalam hal pahala dan balasannya.

9. Anjuran menyambung silaturahim (tali persaudaraan) dan berbuat baik kepada kerabat. Perlu diketahui pula bahwa menyambung tali persaudaraan dengan orang yang lebih dekat kekerabatannya lebih baik daripada dengan orang yang jauh kekerabatannya.

10. Larangan memindahkan mayit dari satu negeri ke negeri lainnya.Sebab, jika hal itu disyariatkan, niscaya Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk memindahkan jenazah Sa’ad bin Khaulah dan bukan berbela sungkawa terhadap kematiannya.

11. Menjelaskan kaidah ushul (mencegah sarana yang berpotensi kepada keburukan). Dasar penetapannya adalah sabda Rasulullah ﷺ Dan janganlah Engkau mengembalikan mereka (وَلَا تَردَّهُمْ على أعقابهم) ke tempat semula.

Hal ini ditegaskan agar tidak ada seorang Muslim pun yang menjadikan sakit sebagai sarana (alasan) untuk mencintai negeri dan kampung halaman yang telah ditinggalkannya.

12. Pembatasan kemutlakan yang terdapat di dalam al-Qur-an denganketerangan dari as-Sunnah. Sebab, Allah ﷻ Yang Mahasuci berfirman :


مِن بَعدِ وَصِيَّة يوصيت بها أو دين )


Dalam surah An-Nisa ayat ke “Setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. “Jadi, as-Sunnah membatasi jumlah wasiat itu sepertiga.

13. memperhatikan kemaslahatan ahli waris dan memelihara keadilan di antara mereka.

14. Khithab (firman) Allah ﷻ atau khithab (sabda) Rasulullah ﷺ yang ditujukan kepada seseorang mencakup orang lain yang mempunyai sifat serupa dengannya, tetapi ini dikhususkan bagi kalangan orang- orang yang mendapat taklif (beban syariat). Para ulama sepakat dalam hal ini dan berhujjah dengan hadits Sa’ad di atas.

Baca Juga : Mengikhlaskan Niat, Perbuatan dan Ucapan, Hadits 3 dan 4

=======================

Sumber : Bahjatun Nadzirin Syarah Riyadhus Shalihin (بهجة النا ظرين شرح رياض الصالحين) Karya Syaikh Salim Bin ‘Ied Al-Hilali حفظه الله تعالى

Penulis: Ustadz Rahmat Ridho, S. Ag