Merayakan hari kemerdekaan adalah kebiasaan yang telah tertanam dalam budaya banyak negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun, sebuah pertanyaan muncul dalam kalangan umat Islam: apa hukum merayakan Hari Kemerdekaan dalam Islam?
Pertanyaan ini diajukan oleh Al Akh Yulian Purnama dalam sebuah konsultasi kepada Ustadz melalui Konsultasisyariah.com tentang merayakan Hari Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus. Purnama mengutip pendapat seorang temannya yang berpendapat bahwa Hari Kemerdekaan bukanlah sebuah hari raya agama.
Dalam menjawab pertanyaan ini, Ustadz Kholid Syamhudi memberikan penjelasan yang rinci. Ia mengawali penjelasannya dengan merinci konsep ‘Id dalam Islam, yang mengacu pada hari perayaan yang dilakukan secara rutin. Menurutnya, Hari Kemerdekaan dapat dianggap sebagai ‘Id karena dirayakan setiap tahun. Namun, Ustadz Syamhudi kemudian membahas perbedaan antara ‘Id agama seperti ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan perayaan non-agama seperti Hari Kemerdekaan.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
الفطر يوم يفطر الناس ، والأضحى يوم يضحي الناس
“’Idul Fithri adalah hari berbuka puasa, ‘Idul Adha adalah hari menyembelih” (HR. Timidzi no.802, di shahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam haditsnya menyatakan bahwa ‘Id adalah bagian dari agama. Oleh karena itu, perayaan ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha adalah ciri khas kaum muslimin. Dengan demikian, perayaan-perayaan seperti Hari Kemerdekaan dapat dianggap sebagai tasyabbuh (menyerupai kaum non-Muslim) dan bid’ah (inovasi dalam agama).
من تشبه بقوم فهو منهم
“Orang yang menyerupai suatu kaum, seolah ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, di hasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, di shahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152)
Ustadz Syamhudi juga mengutip hadits yang mengungkap larangan membuat ‘Id baru selain dua ‘Id yang sudah ditetapkan oleh syariat, baik terkait dengan ibadah maupun tidak. Ini menunjukkan bahwa Islam mengatur secara tegas hukum-hukum terkait perayaan.
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد
“Orang yang membuat perkara baru dalam agama ini, maka amalannya tersebut tertolak” (HR. Bukhari, no. 2697)
Namun, Ustadz Syamhudi juga mengakui bahwa ada situasi di mana perayaan seperti Hari Kemerdekaan dapat diterima, terutama jika tujuannya adalah untuk mengatur pekerjaan atau menertibkan urusan-urusan masyarakat tanpa makna taqarrub atau ibadah.
Dalam fatwa Lajnah Daimah yang disampaikan, terdapat klarifikasi lebih lanjut tentang hukum perayaan-perayaan semacam Hari Kemerdekaan dalam Islam.
Kesimpulannya, perayaan Hari Kemerdekaan dalam Islam menjadi subjek perdebatan. Beberapa ulama melarangnya karena dianggap sebagai tasyabbuh dan bid’ah, sementara yang lain menoleransi perayaan semacam itu jika tujuannya bukan ibadah dan bertujuan untuk kepentingan umum. Bagi umat Islam yang merayakan Hari Kemerdekaan, penting untuk memahami pendapat ulama dan merenungkan niat di balik perayaan tersebut, agar sesuai dengan nilai-nilai Islam yang mendasari agama mereka.
Artikel ini telah ditulis ulang oleh redaksi Kabasurau.co.id