Kabasurau.co.id. Pada Sabtu sore, ribuan orang merayakan kejatuhan patung Hafez Assad, pendiri rezim keluarga yang telah memerintah Suriah selama lebih dari setengah abad. Aksi ini terjadi di kawasan Jaramana, pinggiran kota Damaskus, dan diperkirakan menjadi simbol berakhirnya kekuasaan dinasti Assad yang telah berlangsung selama lebih dari lima puluh tahun.
Pemusnahan patung besar Hafez Assad yang terekam dalam video ponsel yang goyah menggambarkan akar dari krisis yang melanda Suriah. Pada hari Minggu, Presiden Bashar Assad, yang melarikan diri dari Suriah dan mendapat suaka di Rusia bersama keluarganya, mewarisi sistem otoriter yang dibangun oleh ayahnya setelah Suriah mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1949.
Setelah kekalahan Ottoman pada Perang Dunia I, Suriah bersama Lebanon diduduki Prancis pada tahun 1919 dan pada 1923 menjadi mandat Prancis di bawah Liga Bangsa-Bangsa. Hal ini memicu pemberontakan besar terhadap pemerintahan Prancis yang berlangsung dari 1925 hingga 1927 hingga akhirnya berhasil dipadamkan oleh kekuatan militer Prancis yang luar biasa.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1946, Suriah mengalami masa-masa penuh pergolakan. Dari 1949 hingga 1970, negara ini dilanda lebih dari 20 kali kudeta militer atau upaya kudeta. Suriah hampir dianggap sebagai negara gagal, hingga munculnya Hafez Assad sebagai figur yang menjanjikan kestabilan.
Hafez, yang lahir pada 6 Oktober 1930 di keluarga petani Alawite yang miskin, awalnya tidak berniat menjadi diktator. Ia bermimpi menjadi seorang dokter, namun karena keterbatasan biaya, ia akhirnya memilih untuk bergabung dengan Akademi Militer Homs pada 1950. Ia pun masuk ke Angkatan Udara Suriah dan terlibat dalam berbagai konspirasi militer.
Pada tahun 1963, Hafez memainkan peran penting dalam kudeta militer Ba’ath yang menggulingkan Presiden Nazim Al-Kudsi. Setelah itu, Hafez memimpin Angkatan Udara Suriah dan bergabung dengan Komando Regional Partai Ba’ath. Pada tahun 1966, Hafez menjadi Menteri Pertahanan setelah kudeta internal dalam partai Ba’ath. Pada 12 November 1970, ia melakukan kudeta sendiri yang dikenal dengan nama “Revolusi Korektif”. Kudeta ini awalnya membawa angin segar bagi rakyat Suriah, mengingat rezim sebelumnya sangat dibenci.
Selama 30 tahun kekuasaannya, Hafez membangun struktur politik yang sangat otoriter, mendirikan negara polisi yang sangat kuat untuk mengendalikan segala bentuk ancaman terhadap rezimnya. Ia meninggal pada Juni 2000 karena serangan jantung, setelah berhasil mengubah Suriah menjadi model stabilitas otoriter.
Putranya, Bashar Assad, yang awalnya berkarir di bidang kedokteran, akhirnya dipersiapkan sebagai penerus setelah kakaknya Bassel meninggal dalam kecelakaan mobil pada 1994. Setelah kematian ayahnya pada 2000, Bashar, yang baru berusia 34 tahun, menjadi Presiden Suriah setelah amandemen konstitusi yang menurunkan batas usia untuk jabatan tersebut.
Bashar memulai masa pemerintahannya dengan menanggapi pemberontakan dengan keras, termasuk dalam peristiwa yang dikenal sebagai “Musim Semi Damaskus”. Ketika protes pro-demokrasi meletus pada 2011, Bashar merespons dengan kekerasan, yang akhirnya menyebabkan konflik berkepanjangan yang oleh PBB dinyatakan sebagai perang saudara pada 2012. Selama konflik ini, lebih dari setengah juta orang tewas, dan jutaan orang terpaksa mengungsi.
Kekerasan yang dilakukan oleh rezim Assad termasuk penggunaan senjata kimia, meskipun ada kesepakatan dengan Rusia pada 2013 untuk menghentikan penggunaan senjata kimia. Namun, pada 2013, foto mengejutkan tentang korban anak-anak akibat serangan senjata kimia muncul, dan pada 2018, ditemukan bahwa rezim Assad masih belum menyerahkan senjata kimianya.
Sanksi internasional memperburuk kondisi ekonomi Suriah, dan negara ini menjadi pusat produksi narkoba Captagon, yang kini menjadi salah satu sumber pendapatan utama rezim Assad. Laporan menunjukkan bahwa kelompok yang dekat dengan Assad, termasuk saudaranya Maher, terlibat dalam perdagangan Captagon.
Bashar Assad menghadapi tekanan internasional untuk turun dari jabatannya, namun ia tetap bertahan dengan menggunakan kekuatan militer dan dukungan dari sekutunya. Meskipun telah kehilangan banyak dukungan internasional, ia berhasil bertahan berkat bantuan dari Rusia dan Iran.
Dengan berakhirnya kekuasaan dinasti Assad, masyarakat Suriah kini berharap negara mereka dapat segera pulih dari perang yang telah berlangsung lebih dari satu dekade.