Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah
Ketika
kita berhasil menanamkan rasa syukur yang tulus atas setiap pemberian Allah Subhanahu wa ta`ala, saat itulah
kita akan menemukan makna sejati dari kata "cukup". Kita hanya kurang bersyukur atas segala
nikmat yang telah Allah Subhanahu Wa
Ta`ala berikan
kepada kita. Sebab, rasa syukur yang tulus adalah satu-satunya kunci
untuk membuka pintu rasa cukup
dalam hati kita.
Perasaan ini menciptakan rasa lelah
yang terus menerus membebankan
fikiran kita. Akibatnya kita
merasa tertinggal, kurang beruntung, atau tidak cukup baik, sering kali kita keliru karena membandingkan diri kita yang masih
dalam proses, dengan orang lain yang sudah jauh di depan, padahal yang kita lihat dari mereka
hanyalah ketika sedang
senang-senangnya saja, kita tidak tahu hal buruk apa yang menimpa mereka
sebelum mereka sampai sejauh itu.
Mengapa Kita Selalu Merasa Kurang?
Perasaan
kurang itu muncul karena kita fokus pada hasil akhir orang lain (seperti pencapaian Dsbg), bukan pada proses yang mereka lalui. Kita
melihat merekaketika sudah sampai dipuncak
gunung, tapi tidak melihat keringat, kegagalan, dan pengorbanan di balik
pendakian mereka menuju kesana. Faktanya, rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau karena
kita melihatnya dari jarak jauh dan tanpa memperhatikan gulma (masalah) yang ada didalamnya. Kesenangan dan
kebahagiaan kita akan hilang ketika kita sibuk membandingkan diri dengan orang
lain.
Ketenangan
sejati datang saat kita menyadari satu hal bahwa setiap orang punya jalur dan garis waktu (Timelinenya) masing-masing. Salah satu poin
penting yang harus ditanamkan di fikiran kita adalah jalur kita tidak akan lebih lambat atau lebih buruk dibanding mereka yang kita bandingkan, jalur
itu hanya sedikit berbeda.
Mungkin kita sedang fokus
pada fondasi yang kuat, sementara orang lain sedang membangun hiasan di atap mereka. Tidak ada yang salah akan hal itu.
Alih-alih
bertanya, "Mengapa dia sudah sampai situ?", tanyakan pada diri
sendiri: "Apa yang sudah saya lakukan, apakah hari ini sudah
lebih baik dibanding kemarin?" Ukur kesuksesan dengan pertumbuhan diri kita sendiri, apakah kita sudah lebih sabar, lebih terampil, atau lebih dekat dengan
tujuan Anda?
Perasaan
kurang juga muncul karena kita lupa bahwa pembagian rezeki dan karunia telah
diatur oleh-Nya. Allah Subhanahu
Wa Ta`ala, telah menentukan kadar rezeki setiap hamba-Nya dan
meninggikan sebagian dari kita di atas yang lain. Yang berarti membandingan rezeki dan karunia duniawi
hanyalah membuang waktu, sebagaimana ditegaskan:
اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ
قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا
بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّاۗ
وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
"Apakah mereka yang membagi-bagi
rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang
lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS.
Az-Zukhruf :32).
Terkadang, "kekurangan" yang kita rasakan saat ini justru adalah
"perlindungan" dari Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Mungkin rezeki yang belum datang itu adalah perlindungan dari
fitnah harta, atau perlindungan dari
kezaliman dan kesombongan yang mungkin timbul karena harta. penantian panjang itu adalah persiapan untuk
hubungan yang lebih matang. Dalam
konteks agama, kita diajarkan untuk melihat ke bawah (orang yang kurang
beruntung) dalam hal harta dan duniawi, dan melihat ke atas (orang yang lebih
beriman) dalam hal ibadah dan akhirat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا
تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا
نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Pandanglah
orang yang berada di bawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian.
Hal itu lebih layak membuat kalian tidak mengingkari nikmat Allah yang ada pada
kalian.” HR. Al-Bukhari (6490) dan Muslim (2963).
Hadis ini adalah jawaban yang paling manjur, Perbandingan ke bawah menghasilkan
rasa syukur, sementara perbandingan ke atas hanya menghasilkan rasa iri dan sealu kurang. Hargai setiap langkah kecil yang sudah Anda tempuh dan
yakini bahwa setiap orang memiliki lini masa dan alur cerita perjalanan
nya masing-masing. Fokus pada perjalanan dan
perkembangan diri Anda sendiri jauh lebih berharga daripada membuang energi
untuk mengukur diri berdasarkan pencapaian orang lain. Tujuan hidup kita bukanlah untuk
menjadi salinan terbaik dari orang lain, melainkan untuk menjadi versi terbaik
dari diri kita sendiri. Berhenti membandingkan, dan mulailah merayakan perjalanan Anda
sendiri. Sebab, pada akhirnya, gemerlap duniawi yang kita impikankan hanyalah kesenangan yang sementara,
seperti perumpamaan yang Allah Subhanahu Wa Ta`ala berikan:
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا كَمَاۤءٍ اَنْزَلْنٰهُ
مِنَ السَّمَاۤءِ فَاخْتَلَطَ بِهٖ نَبَاتُ الْاَرْضِ فَاَصْبَحَ هَشِيْمًا
تَذْرُوْهُ الرِّيٰحُۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا٤٥
"Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia),
kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit... kemudian
tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin." (QS.
Al-Kahf: 45)
Dengan berhenti membandingkan dan mulai menanamkan rasa
syukur, kita memberi ruang bagi kebahagiaan dan ketenangan yang sejati untuk
tumbuh dalam hati kita.
Artikel ini pertama kali diterbitkan di www.kabasurau.co.id







