Karminilustrasi warna (foto: Pixabay)

Kabasurau.co.id. Belakangan ini, hukum penggunaan pewarna makanan karmin yang berasal dari serangga Cochineal menjadi perbincangan hangat di kalangan pelaku industri makanan. Pewarna ini telah lama digunakan untuk memberikan warna pada berbagai jenis makanan olahan.

Pewarna makanan dan minuman yang umumnya digunakan tidak hanya terbuat dari bahan kimia, tetapi juga bisa berasal dari bahan nabati dan hewani. Salah satunya adalah pewarna makanan karmin, yang diambil dari serangga Cochineal.

Serangga Cochineal adalah makhluk yang hidup di atas kaktus dan mengambil nutrisi serta kelembaban dari tanaman. Meskipun tampak mirip dengan belalang, serangga Cochineal memiliki karakteristik yang unik, termasuk darahnya yang tidak mengalir.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan tanggapannya terhadap penggunaan pewarna makanan karmin ini melalui Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011 tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal. Fatwa ini ditandatangani oleh Hasanuddin AF, ketua Komisi Fatwa MUI, dan KH Asrorun Ni’am Sholeh, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, pada tanggal 10 Agustus 2011.

Dalam Fatwa tersebut, MUI memutuskan bahwa pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga Cochineal (Pewarna Karmin) dinyatakan halal, asalkan penggunaannya bermanfaat dan tidak membahayakan kesehatan.

Penetapan fatwa ini didasarkan pada beberapa landasan, salah satunya adalah firman Allah ﷻ dalam surat Al-An’am ayat 145 yang menjelaskan bahwa makanan yang halal adalah makanan yang tidak mengandung unsur yang najis, seperti bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi.

Klik untuk membaca Fatwa lengkap MUI.

Dalam proses penetapan fatwa ini, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) juga memberikan keterangan bahwa serangga Cochineal yang digunakan sebagai bahan pewarna makanan dan minuman tidak memiliki potensi bahaya.

Mereka menggambarkan serangga Cochineal sebagai serangga yang memiliki kesamaan dengan belalang dan memiliki darah yang tidak mengalir, sehingga memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam fatwa MUI.