Pernahkah kau merasa sendirian meski berada di tengah keramaian?
Semua orang tampak sibuk, suara-suara riuh terdengar di sekitar, namun dada terasa kosong dan sunyi menggema panjang.
Kita tersenyum pada dunia, tapi dalam hati bertanya pelan:
“Apakah ada tempat yang benar-benar mau menerimaku apa adanya?”
Pertanyaan itu sering datang di sela keheningan malam, ketika hati mulai jujur pada dirinya sendiri.
Kadang bukan kesendirian yang menyakitkan, tapi ketidak mampuan untuk menemukan “rumah” tempat di mana jiwa merasa aman dan diterima.
Pencarian yang Tak Pernah Usai
Kita berlari, menambal kekosongan dengan perhatian manusia, dengan genggaman yang kadang lepas, dengan janji yang sering patah di tengah jalan.
Dan pada akhirnya, hati kita lelah.
Kita berpikir rumah itu tak ada, padahal mungkin arah kita yang salah.
Rumah yang Sebenarnya: Allah-lah Tempat Pulang
Allah ﷻ berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)
Ayat ini menegaskan: ketenangan bukan lahir dari pelukan manusia, bukan dari banyaknya harta, bukan pula dari gemerlap dunia.
Rumah sejati adalah hati yang senantiasa berdzikir, yang mengenal Allah bukan hanya dengan lisan, tapi dengan kesadaran penuh akan kehadiran-Nya di setiap napas.
Kisah Nabi Yunus: Menemukan Rumah di Tengah Kegelapan
Ketika Nabi Yunus ‘alaihissalām berada di perut ikan, dalam kegelapan laut dan kesunyian yang pekat, beliau berdoa dengan penuh penyesalan dan kepasrahan:
لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.”
(QS. Al-Anbiyā’: 87)
Doa itu bukan sekadar pengakuan, tapi juga kepulangan hati.
Saat semua tempat menutup pintu, Allah membuka jalan kembali bagi yang mengaku salah dan berserah diri.
Dari kegelapan itulah Nabi Yunus menemukan “rumah” sejati — bukan di darat, tapi di dalam keyakinan bahwa Allah tak pernah meninggalkan hamba-Nya.
Petuah Salaf: Rumah Ada di Dalam Diri yang Mengenal Rabbnya
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata:
“Hati tidak akan pernah damai kecuali jika ia telah pulang kepada Allah,
berpaling dari selain-Nya, dan bernaung di bawah kasih sayang-Nya.”
Sufyan Ats-Tsauri juga menuturkan:
“Ketenangan sejati bukan karena banyaknya harta,
tapi karena keyakinan bahwa apa pun yang Allah tetapkan—itulah yang terbaik.”
Kata-kata para ulama ini adalah peta menuju pulang:
rumah bukan di luar diri, tapi di hati yang ridha atas takdir dan yakin akan kebijaksanaan-Nya.
Sabar dan Syukur: Dua Pintu Rumah Jiwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin.
Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya.
Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya.
Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu baik baginya.”
(HR. Muslim)
Hadis ini mengajarkan, rumah spiritual seorang mukmin berdiri di atas dua pilar: sabar dan syukur.
Siapa yang menegakkan keduanya, maka tidak ada ujian yang bisa menggusur kedamaiannya.
Penutup: Pulanglah kepada Allah
Kini kita tahu, rumah bukanlah tempat, bukan sosok, bukan janji.
Rumah adalah keadaan hati yang mampu menerima, memaafkan, dan berserah.
Ruang pulang yang dulu kita cari di luar, ternyata sudah lama bersemayam di dalam dada
bersama Allah yang tak pernah pergi,
meski kita sering berpaling dari-Nya.
Maka, ketika dunia terasa terlalu bising,
ketika langkah terasa berat,
ingatlah firman-Nya:
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ ۖ إِنِّي لَكُم مِّنْهُ نَذِيرٌ مُّبِينٌ
“Maka berlarilah (kembalilah) kepada Allah.
Sungguh, aku adalah pemberi peringatan yang nyata dari-Nya untukmu.”
(QS. Adz-Dzāriyāt: 50)
Pulanglah kepada Allah.
Di sanalah rumah yang tak akan pernah hilang,
dan di sanalah jiwa akhirnya tenang.
Artikel ini pertama kali diterbitkan di www.kabasurau.co.id