Juru Bicara Densus 88, Bapak AKBP Mayndra Eka Wardhana, menjelaskan bahwa para tersangka beroperasi secara terstruktur dengan memanfaatkan platform digital yang dekat dengan kehidupan remaja. Beliau menyebutkan bahwa dalam satu tahun terakhir terdapat lima tersangka dewasa yang telah diamankan. Dalam suasana konferensi pers yang berlangsung tegas, Bapak Mayndra menegaskan bahwa jaringan ini menyasar anak usia 10 hingga 18 tahun secara masif.
Menurut Bapak Mayndra, lebih dari 110 anak dan pelajar dari berbagai daerah teridentifikasi sebagai korban perekrutan sepanjang 2025. Ia menjelaskan bahwa jumlah itu meningkat drastis dibandingkan periode 2011–2017, ketika hanya 17 anak yang diamankan terkait paparan paham teror. Dalam penjelasannya, Bapak Mayndra menekankan bahwa pola rekrutmen kini bergerak cepat melalui media daring dan bersifat lebih masif.
Sementara itu, Karo Penmas Divisi Humas Polri, Bapak Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, memaparkan peran lima tersangka yang terdiri dari FW alias YT (47), LM (23), PP alias BMS (37), MSPO (18), dan JJS alias BS (19). Dalam suasana pemaparan yang berlangsung formal, Bapak Trunoyudo menyatakan bahwa para tersangka berperan sebagai perekrut dan pengendali komunikasi dalam kelompok tertutup. Ia menegaskan bahwa para tersangka memengaruhi anak-anak agar terpapar radikalisme dan diarahkan untuk bergabung dengan jaringan terorisme.
Perekrutan dilakukan dengan menyebarkan propaganda awal melalui platform terbuka seperti Facebook, Instagram, dan berbagai game online. Bapak Mayndra menjelaskan bahwa anak-anak awalnya diajak berkomunikasi melalui fitur chat dalam game sebelum dipindahkan ke grup privat di WhatsApp atau Telegram. Dalam suasana penjelasan yang rinci, beliau mengungkapkan bahwa pada tahap inilah proses indoktrinasi berlangsung secara sistematis.
Lebih lanjut, Bapak Mayndra menegaskan bahwa Densus 88 telah memverifikasi korban dari 23 provinsi, dengan mayoritas berasal dari Jawa Barat dan DKI Jakarta. Ia menyebut bahwa sekalipun 23 provinsi telah teridentifikasi, bukan berarti daerah lain bebas dari ancaman karena penyelidikan masih terus berjalan. Beliau menegaskan bahwa pola ini menunjukkan rekrutmen jaringan terorisme kini semakin masif dan sulit dideteksi sejak awal.
Para pelaku disebut sebagai pemain lama dalam jaringan terorisme, termasuk yang pernah menjalani proses hukum. Bapak Mayndra mengungkapkan bahwa sebagian tersangka berafiliasi dengan jaringan Ansharut Daulah yang terhubung dengan ISIS. Ia menjelaskan bahwa setelah bebas, sebagian pelaku kembali berupaya merekrut anak-anak melalui pendekatan ideologi dan manipulasi isu agama.
Bapak Trunoyudo menambahkan bahwa anak-anak menjadi target empuk karena kerentanan sosial seperti bullying, kondisi keluarga tidak harmonis, kurangnya perhatian orang tua, serta minimnya kemampuan literasi digital dan pemahaman keagamaan. Dalam suasana penutup konferensi pers, beliau menegaskan bahwa seluruh korban ditangani bersama kementerian terkait dan lembaga perlindungan anak.
Dengan pengungkapan ini, Polri menegaskan komitmennya melindungi anak-anak dari infiltrasi paham radikal yang memanfaatkan teknologi digital. Upaya penyelidikan dan pencegahan akan terus diperkuat sebagai bagian dari langkah menjaga keamanan nasional dan masa depan generasi muda Indonesia.






