Dalam keterangannya, Bapak Purbaya menjelaskan bahwa pertemuannya pada pagi hari dengan Kepala Badan Pelaksana Danantara, Bapak Rosan Roeslani, membahas berbagai permintaan terkait proses negosiasi utang tersebut. Ia menegaskan bahwa dirinya siap berangkat, namun kepastian waktu bergantung pada kejelasan pihak yang akan menjadi mitra diskusi di China. Ia menambahkan bahwa kejelasan ini penting agar negosiasi dapat berjalan efektif dan terarah.
“Saya ikut ke China bersama Danantara. Cuma kita belum putuskan kapan berangkat. Saya bilang begini, ‘Saya tidak tahu di China ketemu siapa,’” ujar Bapak Purbaya di sela acara tersebut. Ia menegaskan kembali bahwa delegasi harus mengetahui secara pasti apakah akan bertemu perwakilan China Development Bank (CDB) atau National Development and Reform Commission (NDRC).
Menurut Bapak Purbaya, klarifikasi mengenai pihak yang menjadi tujuan serta skema pembahasan harus tuntas sebelum delegasi Indonesia bertolak. Ia menolak melakukan pertemuan apabila arah pembahasan tidak jelas dan pihak yang ditemui belum dipastikan. “Nanti kalau sudah clear ketemu siapa dan skemanya seperti apa, baru kita ke China. Kalau tidak, saya di China ketemu siapa tidak jelas,” tegasnya.
Di sisi lain, Bapak Purbaya menjelaskan bahwa hingga kini belum ada opsi penyelesaian utang yang final. Ia menyebut baru terdapat gambaran besar terkait langkah-langkah yang perlu ditempuh pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ia menekankan bahwa proses negosiasi membutuhkan kajian detail agar keputusan yang diambil dapat optimal bagi kedua pihak.
Pemerintah saat ini masih menyiapkan formula yang tepat untuk penyelesaian kewajiban pembiayaan proyek Whoosh. Diskusi lanjutan akan dilakukan oleh tim teknis Danantara, PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC), serta Kementerian Keuangan. Ketiga pihak tersebut akan merumuskan pendekatan teknis yang akan dibawa dalam negosiasi dengan pihak China.
Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung memiliki total nilai investasi sebesar US$7,2 miliar atau sekitar Rp116,54 triliun, dengan asumsi kurs Rp16.186 per dolar AS. Sekitar 75 persen dari total pembiayaan itu berasal dari pinjaman China Development Bank, sementara sisanya ditopang kontribusi pemegang saham, yakni PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebesar 60 persen dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd sebesar 40 persen.
Dengan persiapan negosiasi yang semakin matang, pemerintah berharap dapat mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi keberlanjutan proyek strategis tersebut. Langkah ini juga menjadi bagian penting upaya pemerintah memastikan stabilitas pembiayaan proyek infrastruktur nasional.






