Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah
Seringkali,
jiwa ini terasa seperti perahu kecil di tengah badai harapan dan kekhawatiran.
Kita mendayung sekuat tenaga menuju cakrawala yang kita impikan seperti karier yang gemilang, pengakuan
dari orang-orang, atau
pencapaian yang sempurna.
Kita berpegangan pada kendali, meyakini bahwa hanya dengan merancang setiap
detail, kita akan menemukan kebahagiaan. Kita
melihat orang lain berhasil mencapai tujuannya, seolah mereka
menemukan peta rahasia yang tersembunyi dari kita. Setelah itu, muncullah rasa cemas, dan
frustrasi ketika hasil yang kita harapkan tidak sesuai rencana. Rasa lelah itu bukanlah
karena kurangnya usaha, melainkan karena kita memikul beban yang bukan milik
kita. Inilah saatnya kita memahami
ulang hakikat dari sebuah takdir.
Takdir bukanlah rantai yang mengikat, melainkan sebuah arus yang
membawa kita pada lautan yang jauh lebih besar daripada telaga kecil yang kita
bayangkan.
Allah
Subhanahu Wa Ta`ala adalah
Sang pencipta agung. Dia
tidak hanya tahu apa yang kita butuhkan, tetapi juga tahu kapan kita siap menerimanya, dan
dengan cara apa yang paling membentuk karakter kita. Jika pintu yang kita ketuk
tidak terbuka, mungkin itu bukan penolakan, melainkan perlindungan dari badai
yang belum kita lihat di balik pintu itu. Allah
Subhanahu wa ta`ala berfirman
dalam Al-Qur`an yang mulia:
وَعَسٰٓى اَنْ
تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا
وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْن
Artinya:
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh
jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui."(QS. Al-Baqarah: 216)
Ayat
ini adalah intisari dari ketenangan batin. Ia mengajarkan bahwa hikmah Ilahi
selalu melampaui keterbatasan pandangan manusia. Ketika kita menerima
ketidaksempurnaan rencana kita sebagai kesempurnaan Rencana-Nya, saat itulah
beban terberat terangkat dari pundak. Lihatlah
teladan Rasulullah Shallallahu
`Alaihi Wasallam. Beliau mengalami penolakan, pengusiran, bahkan
kehilangan orang-orang tercinta. Apakah beliau berhenti berikhtiar? Tidak.
Namun, beliau juga tidak pernah memaksakan hasil.
Ketika di
Thaif, Rasulullah Shallallahu
`Alaihi Wasallam mendatangi para pemuka dan menyampaikan dakwahnya. Sayangnya,
tak seorang pun dari mereka yang menerima dakwah
beliau. Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam ditolak
keras oleh suku Tsaqif. Mereka bahkan tega menghina beliau, serta melempari
Nabi Muhammad dengan batu. Zaid bin
Haritsah yang menemani Rasulullah bahkan berusaha melindungi beliau dari
lemparan batu tersebut. Sayangnya, batu-batu itu tetap mengenai tubuh sang
rasul hingga berdarah-darah. Di
perjalanan pulang, Rasulullah merasa sangat sedih beliau
memanjatkan doa. Dinukil oleh Imam at-Thabrani dalam al-Mujam al-Kabir,
al-Baghdadi dalam al-Jami' li Akhlaq ar-Rawi, berikut bunyinya,
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan
kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang
Maharahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada
siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram
kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak
murka kepadaku, aku tidak peduli sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau
limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan
dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan
yang akan Engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga
Engkau ridha kepadaku. Dan, tiada daya upaya melainkan dengan
kehendak-Mu,"
Menyaksikan hal itu, Malaikat Jibril merasa terluka. Ia lalu berkata kepada
Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi Wasallam, "Allah mengetahui apa yang terjadi
padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat-malaikat di
gunung-gunung untuk menaati perintahmu,"
Alih-alih memberi penduduk Thaif pelajaran, Nabi Muhammad justru menjawab
dengan lembut, "Tidak. Aku mohon mereka diberi tangguh waktu. Ke depannya,
mudah-mudahan Allah berkenan melahirkan dari mereka generasi yang akan
menyembah-Nya tanpa mempersekutukan dengan sesuatu apa pun," seperti
dikutip dari buku Kelengkapan Tarikh Rasulullah susunan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Dalam banyak kisah
hijrah, setiap langkah yang diambil oleh rasul dan para sahabat selalu
dengan perencanaan yang matang (ikhtiar), namun bagaimana akhirnya selalu diserahkan
sepenuhnya kepada penjagaan Allah
Subhanahu Wa Ta`ala (tawakal). Seperti, Kisah Hijrah Nabi Muhammad Shallallahu
`Alaihi Wasallam. dan Abu Bakar di Gua Tsur memberikan sebuah pelajaran bahwa ikhtiar dan tawakal
harus berjalan beriringan. Setiap langkah, dari penentuan rute, pemilihan waktu
perjalanan malam kala itu, adalah
perwujudan dari ikhtiar atau usaha manusia yang maksimal. Namun, ketika bahaya
tiba tepat di hadapan mereka saat
kaum Quraisy berada di mulut gua, Nabi
Shallallahu `Alaihi Wasallam. dengan tenang berserah diri,
menunjukkan sikap tawakal sejati. Sikap itu mengajarkan bahwa usaha adalah tugas kita, tetapi hasil,
perlindungan, dan ketetapan akhir adalah ketentuan Allah Subhanahu
Wa Ta`ala, sehingga setelah berikhtiar semaksimal mungkin, hati kita
harus lapang dan menerima segala ketentuan-Nya.
Seorang
ulama salaf pernah menasihati: “Tawakal adalah ketenangan hati ketika semua
sebab telah kamu jalani, seolah hasil akhirnya adalah urusan yang telah
selesai, dan kamu hanya menunggu pengumuman-Nya.”
Jangan
biarkan pikiran terus-menerus disandera oleh masa lalu yang tak bisa diubah,
atau masa depan yang belum tentu tiba. Fokus
pada upaya terbaik yang dapat kamu berikan hari ini, Hargai nikmat kecil yang sering luput dari fikiran mu (kesehatan, pengelihatan, pendengaran atau
nafas yang masih berdetak). Berserah
dengan keyakinan penuh bahwa Allah sedang menata segala hal, bahkan ketika
tampak berantakan. Terus lah melangkah, namun dengan hati
yang ringan, sebab kita telah menitipkan kemudi kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Ketika
kita mampu melepaskan “harus
begini” dan menggantinya
dengan “bagaimana pun itu”, kita akan menemukan bahwa di
dalam rencana Allah, tidak ada kata tertunda atau salah arah. Yang ada hanyalah
jalur yang paling sempurna untuk membawa kita pada tujuan sejati. Maka, biarkan ombak berderus. Lepaskan kendali. Bersandarlah.
Di dalam penyerahan diri yang tulus, kita akan menemukan ketenangan yang tidak
bisa digoyahkan oleh gejolak dunia mana pun.
Sering
kali, kita menjalani hidup ini seperti perlombaan yang tak ada habisnya. Kita
terus berlari mengejar tujuan-tujuan besar yang diimpikan. Karena mata kita
terpaku pada garis akhir yang masih jauh, kita sering lupa untuk menikmati dan
menghargai setiap proses dari perjalanan hidup ini.
Apakah
kebahagiaan hanya ada setelah semua impian tercapai, ataukah ia sudah tersedia
di setiap langkah sederhana yang kita jalani?
Kita
sering terperangkap dalam mentalitas bersyarat "Saya akan puas jika semua target sudah tercapai atau saya akan bahagia jika sudah begini dan begitu.” Tanpa kita sadari, kita telah menunda kebahagiaan,
menggantungkannya pada syarat-syarat yang kadang tak pasti. Akibatnya, kita
menjadi pribadi yang mudah mengeluh, kurang bersyukur, dan selalu merasa tidak
cukup, padahal nikmat Allah Subhanahu
Wa Ta`ala ada di mana-mana, bahkan dalam hal-hal yang paling
sederhana.
Inilah
saatnya kita mengubah sudut pandang,
bersyukur itu bukanlah
sekadar mengucapkan "alhamdulillah" setelah menerima sesuatu yang
besar. Bersyukur itu adalah
filosofi hidup, cara pandang yang membuat kita melihat bahwa selalu ada kebaikan di setiap
kejadian besar maupun kecil, menyenangkan atau menyulitkan. Hakikatnya adalah mengakui bahwa setiap
detik hidup kita adalah anugerah. Allah
Subhanahu Wa Ta`ala berfirman
dalam Al-Qur’an:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ
وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ٧
Artinya:
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7)
Ayat
ini adalah janji yang kuat. Bersyukur bukan hanya mendatangkan ketenangan
batin, tetapi juga secara langsung membuka pintu-pintu keberkahan dan
penambahan nikmat dari Allah.
Meneladani Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam dalam Mensyukuri Setiap Anugerah. Rasulullah
Shallallahu `Alaihi Wasallam adalah teladan terbaik dalam hal bersyukur. Beliau
senantiasa bersyukur, bahkan dalam kondisi paling sederhana sekalipun. Dari
makanan yang sedikit,
kesehatan,
hingga kesulitan yang menimpa. Salah
satu hadis mengajarkan pentingnya bersyukur atas nikmat paling dasar:
مَنْ
أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافى فِي جَسَدِهِ، آمِنًا فِي سِرْبِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ
يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Artinya:
"Barangsiapa di antara kalian yang bangun pagi dalam keadaan aman di
tengah kaumnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka
seakan-akan dunia telah dikumpulkan untuknya." (HR. Tirmidzi)
Hadis
ini adalah pengingat yang sangat relate untuk kita. Berapa banyak dari kita yang memiliki ketiga hal ini
setiap hari, namun masih merasa kurang? Keamanan, kesehatan, dan rezeki hari
itu tiga nikmat fundamental yang jika
kita sadari, nilainya setara dengan seluruh isi dunia. Betapa seringnya kita
melupakan hal ini.
Bersyukur
mengubah kekurangan menjadi kecukupan, mengubah keluhan menjadi kekuatan, dan
mengubah kecemasan menjadi kedamaian. Ia adalah filter yang membersihkan
pandangan kita dari debu dunia, sehingga kita bisa melihat keindahan sejati di
sekitar kita.
Maka,
mari kita berhenti menunda kebahagiaan. Bukalah mata hati, dan lihatlah betapa
banyak nikmat yang telah terhampar di hadapan kita setiap hari. Dengan
bersyukur, kita bukan hanya menarik lebih banyak kebaikan, tetapi juga
menemukan bahwa kebahagiaan sejati tidak pernah pergi, ia hanya menunggu untuk
diakui. Mari kita jadikan setiap hari
sebagai kesempatan untuk memetik kebahagiaan dari hal-hal sederhana.







