Kabasurau.co.id: Jakarta — Ekspansi besar-besaran industri aluminium di Indonesia yang didorong oleh perusahaan-perusahaan asal Tiongkok diperkirakan akan menciptakan surplus global pada tahun depan. Kondisi ini berpotensi menekan harga logam tersebut di pasar internasional, terutama karena aluminium merupakan bahan penting dalam sektor transportasi, konstruksi, dan kemasan.
Investasi Smelter China Dorong Lonjakan Produksi Nasional
Menurut laporan Reuters pada Senin (27/10/2025), sedikitnya tiga proyek smelter yang didukung oleh perusahaan Tiongkok tengah mendekati tahap penyelesaian. Proyek tersebut mencakup Juwan Smelter milik Xinfa–Tsingshan di Weda Bay, pabrik Taijing di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), serta proyek Adaro–Lygend Kaltara di Kalimantan Utara.
Peningkatan kapasitas ini menandai langkah agresif Indonesia dalam memperkuat rantai pasok industri hilirisasi mineral. Namun, ekspansi tersebut juga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kelebihan pasokan aluminium di pasar global, yang dapat berdampak pada stabilitas harga komoditas tersebut.
Ekspor Aluminium Indonesia Naik Tajam
Berdasarkan data Trade Data Monitor, Indonesia mengekspor 325.293 metrik ton aluminium sepanjang Januari hingga Agustus 2025. Angka ini melonjak 67 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, serta jauh lebih tinggi dibandingkan 10.713 ton yang diekspor pada delapan bulan pertama tahun 2023.
Kenaikan ekspor ini menunjukkan lonjakan signifikan kapasitas produksi nasional yang sebagian besar dipicu oleh investasi perusahaan Tiongkok di sektor hilirisasi logam dasar. “Laju pertumbuhan pasokan dari Indonesia akan memainkan peran penting dalam menentukan keseimbangan pasar dan harga aluminium global,” ujar Bapak Ross Strachan, analis dari lembaga konsultan energi dan logam CRU, dikutip dari Reuters Daily Briefing.
Prediksi Surplus Global dan Tekanan Harga Aluminium
Produksi aluminium primer dunia diperkirakan akan melampaui 72 juta ton pada tahun 2025. Berdasarkan analisis Goldman Sachs, pasar aluminium global akan mengalami surplus 1,5 juta ton pada 2026 dan 2 juta ton pada 2027, seiring dengan meningkatnya kontribusi produksi dari Indonesia yang diperkirakan naik dari 815.000 ton pada 2025 menjadi 1,6 juta ton pada 2026, dan mencapai 2,5 juta ton pada 2027.
“Pasokan baru dari Indonesia secara efektif menutup kesenjangan pasokan global yang sebelumnya diperkirakan terjadi akibat batas kapasitas smelter di Tiongkok,” tulis Goldman Sachs dalam laporan risetnya awal Oktober 2025.
Bank investasi tersebut juga memperkirakan harga aluminium akan turun menjadi 2.350 dolar AS per metrik ton pada kuartal IV 2026, namun tetap berada di atas 90 persen dari estimasi biaya produksi global, yang berarti sebagian besar smelter masih akan beroperasi secara menguntungkan.
Analis: Surplus Jangka Pendek, Defisit Jangka Panjang
Harga aluminium di London Metal Exchange (LME) pada Senin (27/10/2025) tercatat sekitar 2.873 dolar AS per ton. Sementara itu, lembaga keuangan Macquarie memperkirakan peningkatan produksi aluminium primer Indonesia akan menyebabkan surplus global sebesar 390.000 ton pada tahun depan.
Namun, Macquarie juga menilai kondisi surplus ini bersifat sementara. Dalam jangka panjang, pasar aluminium dunia kemungkinan kembali mengalami defisit karena Tiongkok mencapai batas kapasitas produksi 45 juta ton dan permintaan global terus meningkat. “Seiring meningkatnya konsumsi dan keterbatasan kapasitas baru di Tiongkok, defisit bisa kembali dalam beberapa tahun mendatang,” tulis laporan tersebut.
Implikasi Global dan Posisi Strategis Indonesia
Ekspansi industri aluminium di Indonesia mencerminkan strategi pemerintah untuk mendorong hilirisasi sumber daya alam dan memperkuat kemandirian industri logam nasional. Dengan dukungan investasi besar dari perusahaan Tiongkok, Indonesia berpotensi menjadi salah satu pemain utama dalam rantai pasok aluminium global.
Namun, para analis mengingatkan bahwa pertumbuhan produksi yang terlalu cepat dapat menimbulkan risiko ekonomi, terutama jika tidak diimbangi dengan strategi diversifikasi pasar dan stabilisasi harga. Dalam konteks geopolitik, kerja sama industri antara Indonesia dan Tiongkok juga menjadi perhatian bagi negara-negara mitra dagang di kawasan Asia dan Eropa.
Tantangan Keseimbangan Produksi dan Permintaan
Ekspansi smelter aluminium di Indonesia yang didorong oleh investasi Tiongkok menempatkan Indonesia pada posisi penting dalam peta industri global. Di satu sisi, langkah ini memperkuat kedaulatan ekonomi nasional dan membuka lapangan kerja baru. Namun di sisi lain, potensi surplus yang berlebihan dapat menekan harga dan keuntungan industri jangka panjang.
Sebagaimana disampaikan Bapak Ross Strachan, “Indonesia kini menjadi penentu utama dinamika pasar aluminium dunia.” Tantangan ke depan adalah bagaimana Indonesia dapat menjaga keseimbangan antara peningkatan kapasitas produksi dan stabilitas harga global — agar keuntungan dari industrialisasi dapat berkelanjutan dan tidak sekadar sementara.






