Oleh: Muhammad okta ilvan
(Opini — Kabasurau.co.id)
Adat mulai goyah, iman teruji, dan masa depan menunggu kebangkitan nilai
Ranah Minang yang selama ini dikenal dengan filosofi luhur “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, kini tengah bergulat dengan realitas pahit. Di balik indahnya budaya dan kuatnya nilai agama, muncul gelombang sunyi: meningkatnya pergaulan bebas di kalangan remaja dan mahasiswa.
Fenomena ini bukan sekadar isu moral — ia adalah cermin retaknya benteng nilai yang selama ini menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Barat.
Data yang Membuka Mata
Penelitian dari jurnal Abdidas (2018) mencatat, terdapat 14.469 pelaku hubungan sesama jenis (LSL) di Sumbar yang tersebar di Padang, Bukittinggi, dan Solok. Sebagian besar berusia 15–25 tahun, usia yang seharusnya produktif membangun diri dan negeri.
Di sisi lain, laporan Antara Sumbar (2023) menyoroti meningkatnya kasus kehamilan remaja di Mentawai, terutama di kalangan pelajar SMP dan SMA yang tinggal di asrama tanpa pendamping. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya putus sekolah dan kehilangan masa depan.
Kapolda Sumbar, Irjen Suharyono, dalam sosialisasi Gerakan Anti Tawuran, Narkoba, dan Pergaulan Bebas (2025), mengungkapkan ada lebih dari 3.000 anak putus sekolah di seluruh provinsi. Sebagian besar di antaranya rentan terseret pergaulan yang tidak sehat.
“Ini bukan sekadar masalah moral, tapi juga masalah sistem sosial yang sedang kehilangan arah,” ujar Prof. Azwirman, M.Si, sosiolog dari Universitas Negeri Padang. “Ketika pendidikan karakter melemah, adat dan agama tidak bersuara, maka generasi muda mencari arah dari tempat yang salah.”
Krisis yang Berakar dalam
Fenomena ini tak bisa dilihat hanya dari satu sisi. Ada beberapa akar masalah yang saling bertaut dan memperparah situasi:
Lemahnya pengawasan dan fasilitas pendidikan karakter.
Di banyak asrama dan sekolah pedesaan, pembina spiritual sering tidak tersedia. Anak-anak dibiarkan mengurus diri di tengah gempuran konten global yang menggoda.Krisis nilai budaya dan agama.
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) mengakui, banyak ninik mamak dan tokoh adat mulai kehilangan pengaruh sosialnya di mata remaja. “Dulu anak malu pada mamak, kini mamak malu menegur anak,” ujar salah satu anggota LKAAM Payakumbuh.Pengaruh media sosial dan globalisasi.
Akses bebas ke internet tanpa literasi digital yang kuat menjadikan banyak remaja terpapar konten pornografi, gaya hidup bebas, dan nilai sekular yang merusak moral.Kemiskinan dan keterbatasan peluang.
Anak-anak dari keluarga miskin atau putus sekolah lebih mudah terjerat pergaulan bebas karena kehilangan arah, pengawasan, dan tujuan hidup.
Pendekatan Lama yang Tak Lagi Efektif
Banyak kampanye pemerintah masih berfokus pada larangan, bukan pendampingan.
Poster bertuliskan “Jauhi Pergaulan Bebas” tersebar di jalan, namun jarang ada ruang aman bagi remaja untuk bertanya tentang perasaan, syahwat, dan batasan moral.
Padahal Rasulullah ﷺ telah memberikan panduan jelas:
قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Islam tidak menolak pembahasan soal syahwat, tapi menatanya dengan kemuliaan.
Maka, pendidikan seksual berbasis tauhid harus dihidupkan — bukan sekadar “larangan pacaran”, tetapi pemahaman mendalam tentang tanggung jawab, adab, dan kehormatan diri.
Adat dan Syarak Harus Bertemu Kembali
Revitalisasi nilai Minangkabau tidak cukup dengan seruan moral. Ia butuh aksi nyata:
Sekolah harus menjadi pusat pendidikan karakter dan akhlak, bukan hanya akademik.
Pemerintah daerah wajib menyediakan konseling remaja berbasis islami di setiap kecamatan.
Tokoh adat dan ninik mamak perlu turun langsung membimbing generasi muda dalam bahasa zaman mereka — lewat media sosial, podcast, dan forum komunitas.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.”
(QS. Al-Isra’: 32)
Ayat ini bukan sekadar larangan, tapi panggilan untuk menjaga kemuliaan manusia sebagai khalifah di bumi.
Menyulut Api Kesadaran
Generasi muda Sumbar bukan hilang iman, mereka sedang mencari makna.
Tugas kita bukan menghukum, tapi menyalakan cahaya.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Apabila rasa malu telah hilang dari seseorang, maka berbuatlah sesukamu.”
(HR. Bukhari)
Kita perlu mengembalikan rasa malu — bukan malu karena diawasi manusia, tapi karena merasa diawasi Allah.
Ranah Minang harus kembali menjadi tanah tempat iman bertumbuh, malu dijaga, dan adat bersanding dengan syarak dalam harmoni.
Penutup
Pergaulan bebas di Sumatera Barat bukan sekadar isu moral, tapi panggilan darurat untuk menyelamatkan nilai dan masa depan generasi.
Kini saatnya bersatu — ulama, adat, guru, dan orang tua — dalam satu barisan dakwah nilai. Karena jika benteng iman roboh di negeri yang beradat, maka robohlah makna Minangkabau itu sendiri.
Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah — bukan semboyan yang kita hafal, tapi jalan hidup yang harus kita perjuangkan kembali.
Artikel ini pertama kali diterbitkan di www.kabasurau.co.id