Kabasurau.co.id: Jakarta — Tiongkok, India, dan Indonesia, tiga negara yang selama ini menjadi penyumbang terbesar kenaikan emisi karbon dioksida (CO₂) dari sektor ketenagalistrikan berbasis batu bara, kini berada di jalur yang memungkinkan untuk mencapai puncak emisi sebelum atau sekitar tahun 2030. Pencapaian ini menjadi sinyal penting bagi dunia bahwa transisi menuju energi bersih di kawasan Asia semakin nyata dan terukur.
Pertumbuhan Energi Bersih Jadi Penentu Puncak Emisi
Menurut laporan terbaru lembaga riset energi global yang dirilis pada Selasa (28/10/2025), pertumbuhan pesat energi bersih di ketiga negara tersebut telah membuka jalan menuju penurunan emisi sektor ketenagalistrikan. Tiongkok diperkirakan mampu menahan tingkat emisinya di bawah level tahun 2024 berkat peningkatan signifikan kapasitas energi terbarukan, sementara India dan Indonesia dapat mencapai puncak emisi sebelum atau sekitar tahun 2030.
“Pertumbuhan energi bersih yang telah terealisasi di Tiongkok, India, dan Indonesia memberikan peluang besar bagi dunia untuk menekan laju pemanasan global,” ujar Bapak Li Cheng, analis kebijakan energi dari Global Energy Observatory, dalam diskusi daring bertajuk “Asia’s Energy Transition Outlook 2025” yang digelar di Beijing, Selasa (28/10/2025).
Lonjakan Konsumsi Batu Bara Jadi Tantangan Serius
Meski prospek penurunan emisi terlihat menjanjikan, konsumsi batu bara di ketiga negara masih menunjukkan peningkatan tajam selama satu dekade terakhir. Dari tahun 2015 hingga 2024, konsumsi batu bara naik 15 persen di Tiongkok, 42 persen di India, dan 150 persen di Indonesia. Sebaliknya, konsumsi batu bara di negara-negara lain di dunia justru turun 23 persen dalam periode yang sama.
Kondisi ini menegaskan peran sentral Asia dalam menentukan arah transisi energi global. “Tanpa kenaikan emisi dari tiga negara tersebut, emisi sektor energi global sebenarnya sudah mencapai puncak dan mulai menurun sejak sebelum tahun 2020,” jelas Bapak Arun Desai, peneliti senior energi terbarukan dari India Energy Institute, saat dihubungi di New Delhi, Selasa (28/10/2025).
Ancaman Inersia Politik dan Ekonomi Batu Bara
Namun, tantangan terbesar bagi ketiga negara ini terletak pada ketergantungan ekonomi terhadap batu bara. Pembangunan infrastruktur pembangkit listrik dan tambang baru terus berlangsung, menciptakan perlawanan kuat dari industri batu bara terhadap ekspansi energi bersih. Ketika permintaan batu bara mulai menurun, tekanan politik dan ekonomi dari sektor ini diperkirakan akan meningkat.
“Industri batu bara memiliki kepentingan besar yang dapat memperlambat transisi menuju energi bersih. Jika tidak ada kebijakan tegas, negara-negara ini berisiko terjebak dalam sistem energi tinggi karbon selama beberapa dekade,” ujar Ibuk Rini Hartati, pengamat kebijakan energi dari Institute for Clean Power Policy Indonesia, saat diwawancarai di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Kebijakan Kunci untuk Mendorong Penurunan Emisi
Laporan tersebut menekankan bahwa mencapai puncak emisi hanyalah langkah awal. Untuk benar-benar menurunkan emisi secara berkelanjutan, dibutuhkan kebijakan kuat seperti reformasi sistem ketenagalistrikan agar mampu mengakomodasi pertumbuhan cepat energi surya dan angin. Selain itu, penutupan bertahap pembangkit listrik berbahan bakar fosil menjadi keharusan agar energi bersih dapat menggantikan sumber konvensional secara penuh.
“Tantangan utama bukan hanya menambah kapasitas energi terbarukan, tetapi juga memastikan pembangkit fosil secara bertahap dihentikan. Ini adalah fase paling sulit dari transisi energi,” ungkap Bapak Zhang Wei, peneliti energi bersih dari Tsinghua University Energy Center, dalam forum yang sama.
Kemungkinan Jalur Ganda: Penurunan Cepat atau Stagnasi
Para analis memperingatkan bahwa pasca puncak emisi, ketiga negara tersebut bisa mengikuti dua jalur berbeda: penurunan cepat emisi atau stagnasi panjang akibat faktor ekonomi dan kebijakan. Jika reformasi berjalan lambat, konsumsi batu bara dapat kembali meningkat, menghambat pencapaian target net zero yang telah dicanangkan.
Di sisi lain, jika langkah transisi diperkuat dengan investasi besar dalam teknologi penyimpanan energi dan efisiensi jaringan listrik, ketiga negara ini dapat menjadi pelopor global dalam pengurangan emisi sektor energi. “Peaking is not the finish line — it’s the starting point,” tegas Bapak Li Cheng dalam penutup paparannya.
Penutup: Momentum Asia untuk Dunia yang Lebih Hijau
Tiongkok, India, dan Indonesia kini memegang peran kunci dalam menentukan masa depan iklim global. Dengan keberhasilan mencapai puncak emisi sebelum 2030, ketiga negara ini tidak hanya menunjukkan komitmen terhadap Paris Agreement, tetapi juga membuka jalan bagi transformasi energi bersih yang berkelanjutan.
Langkah-langkah konkret seperti penghentian pembangkit batu bara baru, percepatan investasi energi terbarukan, dan reformasi kebijakan listrik akan menjadi penentu arah perubahan ini. Dunia kini menatap Asia — bukan hanya sebagai pusat konsumsi energi terbesar, tetapi juga sebagai harapan baru bagi planet yang lebih bersih dan berkelanjutan.






